Melawan Arus
Ada pihak–pihak yang mengatakan bahwa dalam bekerja seakan–akan saya senang melawan semua orang atau banyak pihak. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa dalam bekerja saya hanya berpegang teguh pada sumpah jabatan dan taat kepada konstitusi. Apa yang saya lakukan itu ya memang seharusnya dilakukan oleh pejabat walau terkesan melawan arus.
Kenapa saya seolah beda dengan kebanyakan pejabat lainnya? Ini terkait kondisi saat itu, di mana saya mau tidak mau berhadapan dengan budaya yang korup ketika mendapatkan amanah sebagai pejabat. Saat itu pilihannya adalah ikut arus atau melawannya! Dalam hati juga sempat terlintas, bagaimana saya bisa melawan arus? Sepertinya hampir tidak mungkin. Namun kembali lagi mengingat alasan saya berpolitik, mau tidak mau, sadar tidak sadar, harus melawan arus.
Bekerja sebagai pejabat publik saya ibaratkan seperti ikan salmon yang melawan arus. Ikan yang ikutin arus itu pasti ikan mati. Kalau ikan yang hidup itu pasti melawan arus. Nah, ikan yang melawan arus hingga ke atas gunung itu, ikan salmon. Ini merupakan salah satu filosofi hidup saya. Siklus hidup ikan salmon ini mempunyai makna tentang perjalanan jauh yang perlu usaha dan kemauan keras, serta berani mengambil risiko.
Ikan salmon melawan arus untuk bisa melahirkan generasi berikutnya. Walaupun saat melawan arus risikonya besar. Bisa mati dimakan beruang. Jadi saya pikir kalau orang mau hidup, ya harus seperti itu, harus berani untuk melahirkan generasi berikutnya. Sekalipun mungkin nanti kita dimakan beruang.
Saya bukan sok seolah–olah melawan arus. Sebenarnya, apa yang saya lakukan adalah hal wajar yang memang seharusnya dilakukan oleh seorang pejabat publik. Di saat memutuskan bekerja untuk masyarakat melalui dunia politik, saat itu juga saya paham apa yang harus saya lakukan dan kerjakan.
Kalau berniat memperkaya diri, tentu saya tidak akan terjun ke politik. Lebih baik saya terus menjadi pengusaha. Atau kalau saya berniat memperkaya diri lewat jabatan politik, tentu logikanya begini: Saya terus menjadi bupati hingga dua periode, lalu menjadi anggota DPR RI dua periode juga, selanjutnya kalau nasib saya baik, saya menjadi gubernur Bangka–Belitung. Saya bisa kaya. Namun, ini bukan tujuan hidup saya ketika memutuskan terjun ke dunia politik.
Kutu Loncat
Dalam menjalankan peran saya di dunia politik, ada yang mengritik dengan menyebut saya sebagai kutu loncat. Saya mengawali dunia politik saya dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), lalu saya berhenti dari partai tersebut tahun 2007. Saya sempat vakum berpartai kurang lebih satu tahun. Baru setelah itu, saya masuk Partai Golkar dan ikut pemilu legislatif tahun 2009.
Kenapa saat itu saya masuk Golkar? Karena sebagian warga di Bangka–Belitung meminta saya masuk ke DPR RI. Dengan peraturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), secara logis saya harus mendaftar ke partai yang memiliki peluang besar lolos ambang batas parlemen. Sebagai kandidat, tidak ada gunanya bagi saya lolos ke senayan dari perolehan suara, tapi partai saya tidak lolos ambang batas parlemen dan akhirnya hilang juga kursi yang telah saya dapatkan.
Ketika saya pindah dari Golkar ke Partai Gerindra juga ada alasannya. Waktu itu, saya sering menghadiri banyak seminar di kampus–kampus dan beberapa pertanyaan intinya mirip: “Anda jujur, tapi apa gunanya jika jujur namun tidak ada partai yang mencalonkan Anda (ke eksekutif)?” Nah, pada tahun 2012 itu, Gerindra yang mencalonkan saya.
Saya keluar meninggalkan Gerindra juga ada alasannya. Saat itu, Partai Gerindra mendukung usulan pemilihan kepala daerah yang kembali dipilih oleh DPRD. Ini bertentangan dengan alasan mereka yang mengajak saya masuk Gerindra, yaitu akan memperjuangkan pilihan rakyat. Saya bisa mencapai posisi bupati, wakil gubernur, dan gubernur karena adanya pemilihan langsung oleh rakyat.
Kenapa harus ke eksekutif? Karena orang–orang idealis harus menguasai eksekutif (demi mengamankan anggaran dengan benar). Legislatif, baik itu DPRD II, DPRD I dan DPR RI dijadikan batu loncatan untuk menunjukkan integritas.
Sumber : Buku ‘Kebijakan AHOK’ – Halaman 20 – 23
Tambahan Informasi:
Sebagaimana yang telah diberitakan pada awal September 2014 lalu, alasan lainnya Ahok keluar dari Partai Gerindra adalah menurutnya, pemilihan langsung oleh rakyat dan melalui DPRD berbeda. Sebab, melalui pemilihan langsung semua orang memiliki kesempatan untuk menjadi kepala daerah.
“Kesempatan orang jujur ada kesempatan terpilih asal rekam jejak. (Kalau pemilihan lewat DPRD) Kami dipilih karena rekam jejak kami di DPRD. Jokowi juga sama, tak akan terpilih wali kota Solo kalau lewat DPRD,” kata Ahok saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (10/9).
Ahok nilai Gerindra sudah tak sejalan dengan perjuangannya
Keputusan Ahok sudah bulat untuk keluar dari Gerindra. Ahok tak sepakat dengan sikap partai besutan Prabowo Subianto itu yang mau agar kepala daerah dipilih melalui DPRD.
Ahok mengaku akan mengirimkan surat pengunduran diri ke DPP Gerindra. Ahok menilai Gerindra sudah tak lagi sesuai dengan perjuangannya.
“Ya hari ini saya akan siapkan suratnya kirim ke DPP (Gerindra) untuk nyatakan keluar dari partai Gerindra. Karena bagi saya partai Gerindra sudah tidak sesuai dengan perjuangan saya untuk memberikan rakyat sebuah pilihan terbaik,” kata Ahok saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (10/9).
Ahok sudah tak bisa menaati keputusan Gerindra
Ahok menyatakan sebagai kader partai memang sepatutnya mentaati keputusan partai. Karena merasa berseberangan dengan keputusan partai, Ahok lantas siap mundur sebagai konsekuensi.
“Sekarang begitu sampai posisi hari ini, bagi saya sebagai anggota partai dalam AD/ART Anda harus taat kepada seluruh keputusan parpol. Kalau Anda tidak bisa mentaati keputusan parpol ya Anda harus keluar. Itu konsekuensi dari politik. Bagi saya, secara nurani saya untuk apa saya ada di parpol. Kalau dipilih DPRD tiap tahun kita harus tanggung jawab sama DPRD,” kata Ahok saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (10/9).
“Dulu kenapa tertarik masuk Gerindra, karena ini kesempatan bahwa pilihan rakyat dan DPRD itu beda. Kesempatan orang jujur ada kesempatan terpilih asal rekam jejak. Kami dipilih karena rekam jejak kami di DPRD kan,” jelasnya.
Ahok sebut Gerindra langgar perjanjian
Ahok membantah dirinya tidak tahu berterima kasih pada Partai Gerindra. Seperti diketahui, Ahok menjadi wagub DKI setelah dicalonkan oleh Partai Gerindra bersama PDIP.
“Jadi kalau bilang enggak terima kasih, saya sudah kampanye buat semua kok. Saya enggak akan bertahan di Gerindra kalau Anda enggak ubah konsekuensi Anda. Anda yang melanggar perjanjian dengan saya,” kata Ahok di Balai Kota Jakarta.
Ahok mengatakan arah politik Partai Gerindra sudah tak sejalan dengan dirinya. “Dulu Anda mengiming-iming saya, kita harus jadi model di Jakarta, model bahwa masih ada pejabat publik yang jujur dan kerja keras dari pagi sampai malam dan tidak korupsi,” ujarnya.
Dia tidak ingin koalisi yang dibangun oleh Partai Gerindra untuk mengejar jabatan termasuk rencana koalisi Merah Putih satu suara soal RUU Pilkada. “Kita tidak mau koalisi hanya untuk kepentingan mau dapatin jabatan. Kami ini mau kerja,” katanya.