Ini masih bicara seputar pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI untuk periode yang kedua. Semakin dekat dengan pelaksanaan Pilkada tahun depan, tampaknya semakin besar pula hembusan ‘angin’ yang ingin merobohkan keberadaan Ahok sebagai pajabat Incumbent.
Serangan kepada Ahok datang bertubi-tubi dan silih berganti. Kali ini giliran Yusril Ihza Mahendra, yang mantan menteri itu menuding Ahok menerima gratifikasi berupa uang total senilai Rp. 4,5 Juta, hasil sumbangan dari 9 pengusaha, masing-masing senilai Rp. 500 Juta.
Ahok adalah tipe pemimpin yang jujur dan transparan. Sepanjang tidak melanggar aturan yang berlaku, Ahok tak pernah surut melawan siapapun yang menghalangi. Sebagaimana yang diatur di dalam UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015, batas maksimal sumbangan perseorangan adalah Rp 50 juta, sedang batas maksimal sumbangan badan hukum swasta adalah Rp 500 juta. Namun, ada saja pihak yang mencari-cari kesalahan, termasuk sang Jawara Hukum kita Yusril Ihza Mahendra.
Menurut Yusril, atas nama hukum yang berlaku, Ahok di nilai telah menerima Gratifikasi. Mengapa? Yusril menggunakan argumentasi terkait fakta bahwa Ahok saat ini sedang menjabat sebagai Gubernur DKI . Ahok belum dinyatakan secara sah sebagai Calon Gubernur pada Pilkada DKI 2017 nanti. Sedangkan sesuai aturan diatas, sumbangan uang dari masyarakat dalam rangka pilkada hanya boleh diterima setelah ada keputusan dari KPUD bahwa Ahok secara resmi telah dicalonkan melalui jalur Independen. Dengan demikian, terkait penerimaan dana sebasar Rp. 4,5 M itu menurut Yusril, Ahok telah melanggar ketentuan Gratifikasi.
Apa yang disampaikan Yusril benar, namun sebatas pada satu sisi saja yaitu tentang azas kepatuhan hukum. Tapi menurut saya, kerangka berpikir Yusril tersebut terlalu sempit bila dikaitkan dengan kondisi saat ini, dimana rakyat tengah membutuhkan pemimpin yang jujur dan transparan.
Apakah Yusril sengaja membutakan hatinya pada kondisi yang terjadi saat ini dan kembali mengagung-agungkan hukum sebagai satu-satunya kekuatan yang tak ada yang bisa mengalahkannya? Yusril merasa dirinya paling benar, sebab dia berlindung di balik aturan dan Undang-undang. Menurutnya, bila hukum sudah katakan salah ya salah, titik.
Itulah mengapa saya katakan bahwa Yusril secara tidak sadar telah menuhankan Undang-undang dan hukum. Yusril telah lupa dengan prinsip “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” Hukum diciptakan untuk membela kebenaran dan keadilan yang hakiki. Oleh sebab itu para hakim dalam memutus suatu perkara, tidak hanya berdasarkan kepada apa yang tertulis di dalam Kitab-kitab hukum, namun juga harus menggunakan hati nurani sebagai manusia yang bermoral. Hukum memang sebagai panglima tertinggi, namun lebih dari itu harus bisa ditinjau dari azas kepantasan.
Sebagaimana kasus sebelumnya dimana Yusril secara terang-terangan membela kapal asing yang mencuri ikan di wilayah NKRI. Secara hukum memang dia berhak membela siapapun sebab Yusril juga berprofesi sebagai advokat atau penasihat hukum. Namun secara moral, apakah pantas ada orang sekaliber Yusril, yang bahkan pernah dipercaya sebagai menteri justru membela orang asing? Bukankah sebagai warga negara yang baik, Yusril seharusnya lebih membela negaranya sendiri, dibandingkan dengan para pencuri ikan dari luar negeri itu? Saya kemudian bertanya, kemanakah perginya semangat nasionalisme pada diri Yusril? Masihkah dia punya etika?
Kembali pada kasus Ahok yang dituding menerima Gratifikasi. Bila kita mau berpikir secara obyektip dan komprehensip, dalam konteks keterbukaan dan transparansi bagi para pejabat negara, maka pendapat Yusril tersebut seolah-olah menghalang-halangi pejabat yang ingin berbuat jujur. Mengapa demikian?
Sebab bisa saja Ahok diam saja dan menyembunyikan fakta yang ada dan tak ada yang mengatahuinya bukan? Tapi mengapa orang mau jujur, malah dicari-cari kesalahannya.
Yusril sesungguhnya tahu benar apa yang telah terjadi selama ini, bahwa memang dibutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai proses pencalonan, kampanye hingga perhitungan suara dalam Pilkada nanti. Semua pihak yang mendukung pasangan calon juga tentu mempersiapkan anggaran untuk itu. Meski persoalan penghimpunan dana masyarakat terkait pelaksanaan Pemilu atau Pilkada telah dibatasi oleh aturan yang ketat, namun kenyataan dilapangan tentu banyak sekali terjadi penyimpangan.
Maksud saya begini, yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa tujuan utama Pilkada adalah untuk memilih pemimpin daerah yang sesuai dengan keinginan rakyat. Rakyat saat ini tidak butuh orang pandai sebagai pemimpin tapi yang bersih dan jujur. Terkait Ahok yang telah menerima uang sebesar Rp, 4,5 M dan telah disalurkan kepada organisasi TEMAN AHOK, tujuannya adalah untuk membiayai operasional kegiatan Pilkada hingga pemungutan suara nanti bukan untuk menimbun kekayaan Ahok sendiri.
Memang saat ini Ahok belum dinyatakan sah sebagai CaGub DKI yang diusung melalui jalur independen, namun juga bukan berarti Ahok menerima gratifikasi.
Gratifikasi itu konotasinya adalah yang mengarah pada penyimpangan pada aturan dan penyalah-gunaan kekuasaan. (abuse of power). Ahok tahu benar apa itu Gratifikasi. Bahkan Ahok mendesak semua pejabat di lingkungan pemerintahannya agar mencatat dan melaporkan segala bentuk gratifikasi.
Bila memang menurut Yusril telah terjadi gratifikasi, mengapa tidak dilaporkan saja kepada KPK? Mengapa malah membuat statement politik, yang seolah ingin mengarahkan publik agar tidak memilih Ahok karena menurutnya AHOK telah menerima gratifikasi?
Bila uang sumbangan tersebut masih disimpan sebagai antisipasi kebutuhan dana yang besar menjelang Pilkada nanti dan untuk saat ini belum digunakan oleh TEMAN AHOK, lalu apa masalahnya?
Yusril bila ingin menjadi Gubenur DKI, seharusnya lebih fokus pada program yang bisa ditawarkan, agar warga tertarik untuk memilihnya, bukan malah mencari-cari kesalahan lawan.
Pertanyaannya adalah, sesungguhnya apa yang diinginkannya? Apakah Yusril ingin menjadi Gubernur DKI yang benar benar mampu membenahi semua persoalan di Jakarta, ataukah sebatas menginginkan agar Ahok berhenti di tengah jalan?
Salam
#donibastian