Benarkah ‘Teman Ahok’ Tak Mau Terima Sumbangan Uang?

teman ahok

MYAHOK.COM-Organisasi ‘Teman Ahok” didirikan murni oleh anak-anak muda berlandaskan gerakan moral dan sosial. Organisasi ini sengaja dibentuk, khusus untuk mengusung AHOK agar maju sebagai Cagub DKI pada Pilkada tahun depan melalui jalur independen. Sedari awal, memang Teman Ahok sendiri menyatakan punya tujuan murni sebagai gerakan moral dan sosial dan sama sekali tak ingin bergerak di jalur politik.

Lalu bagaimana Teman Ahok membiayai semua kegiatannya demi memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh KPUD, diantaranya yang paling dominan adalah pengumpulan sejuta KTP dukungan untuk AHOK?

Mereka dengan terang-terangan menyatakan tidak mau menerima sumbangan dari masyarakat dalam bentuk uang tunai tetapi dari usaha sendiri yaitu dari keuntungan menjual barang merchandise antara lain berupa T-Shirt dan pernak-pernik lainnya yang bertemakan dukungan kepada AHOK.

Mengapa Teman Ahok tidak bersedia menerima sumbangan uang, sedangkan tak ada satupun ketentuan yang melarangnya? Mungkin alasannya sederhana saja, yaitu menghindari persepsi negatif terkait dengan penerimaan uang tunai. Namun demikian bila ditelusuri lebih jauh, apa yang diupayakan Teman Ahok dengan berjualan merchandise ujung-ujungnya juga akan memperoleh uang tunai. meskipun publik menilai bahwa itu bukanlah sekadar menerima sumbangan uang tunai.

Memang, jelas berbeda antara menerima uang sumbangan dan menerima keuntungan dari berjualan barang. Namun saya jadi teringat sebuah cerita lama, konon dulu di sebuah negara di Eropa, karena banyaknya pengemis yang merajalela di jalanan, pemerintah negera itu kemudian menetapkan peraturan yang melarang dan memenjarakan setiap orang yang mencari uang sebagai pengemis. Tapi apa yang terjadi kemudian?

Para pengemis itu tak kalah akal, merekapun tetap saja menjalankan aktifitasnya di jalanan tapi dengan berjualan pensil. Uniknya, harga pensil yang ditawarkan sangat tinggi, sebab berkali-kali lipat dari harga pensil yang sewajarnya. Setidaknya dengan cara demikian, mereka tak bisa lagi dituduh sebagai pengemis yang minta sedekah (sumbangan) uang dari orang lain, sebab mereka berdalih sedang menjajakan barang dagangan. Mereka tetap saja bisa mendapatkan uang dengan cara berdagang pensil meski dengan cara memaksa pembelinya dengan harga yang tinggi.

Disini saya sama sekali bukan ingin menyamakan ‘Teman Ahok’ dengan pengemis dalam kasus diatas, namun saya hanya ingin mempertemukan filosofinya yaitu keduanya sama-sama memperoleh uang tapi bukan dengan cara menerima sumbangan.

Jelas, Teman Ahok bukanlah seperti yang dilakukan para ‘pengemis’ itu sebab mereka bukan sembarang menjual barang, namun benar-benar barang yang bermutu. Namun barang yang mereka jual lebih memikat pembeli adalah karena adanya label atau tulisan yang bertemakan dukungan kepada AHOK.

Teman Ahok tentu bisa memperoleh marjin yang tinggi, apalagi bila barang yang dijualnya adalah barang sumbangan dari simpatisan atau dengan harga pokok yang jauh lebih murah. Tanpa modal apapun, Teman Ahok bisa saja langsung memperoleh uang dengan menjual barang-barangnya. Ini semua karena dilandasi semangat di dalam hati para pendukung AHOK yang terlibat dalam proses pengadaan barang yaitu para supplier atau penyedia barang hingga pembelinya.

Mungkin saja ada niat dari calon pembeli bukan sekadar ingin memiliki barang yang dibelinya, namun semata-mata karena ingin mewujudkan dukungannya kepada AHOK. Mereka inilah yang tak pernah membandingkan barang dengan harga belinya. Bahkan bila perlu semua barang diborong, sebab memang tujuannya bukan untuk memiliki barang-barang itu, tapi untuk mendukung keberadaan Teman Ahok.

Dalam proses bisnis Teman Ahok sebenarnya terdapat juga unsur ‘sumbangan’ namun sama sekali tak kasat mata dan tak bisa diukur, sebab sudah ‘larut’ dalam mekanisme transaksi jual-beli barang. Selain itu juga sulit untuk diketahui apakah itu ada unsur sumbangan atau tidak, sebab para pembeli tak pernah dimintai pernyataan atau motivasinya dalam membeli barang, apakah benar-benar tertarik untuk memiliki atau sekadar ingin ‘menyumbang’.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah bisnis Teman Ahok ini adalah sewajarnya bisnis yang biasanya dijalankan oleh para pengusaha pada industri yang sama? Atau dengan kata lain, apakah keuntungan yang diterima dari bisnis Teman AHok ini bisa disetarakan dengan rata-rata keuntungan dari bisnis pada industri yang sama dengan menggunakan teknik benchmarking misalnya.

Bila diambil dari data rata-rata pedagang kaos umumnya mengambil keuntungan misalnya saja 25-30%, maka bisnis Teman Ahok bisa saja memperoleh marjin diatas 100 %. Mengapa terdapat perbedaan tingkat marjin keuntungan yang cukup signifikan, tidak lain adalah karena didalamnya terdapat semangat yang berbeda.

Misalnya saja, orang yang biasa membeli baju kaos (T-shirt) di toko pakaian, mall dll atau melalui online, tentu karena mereka ingin memiliki berdasarkan merk, kualitas barang dan kesesuaian dengan harganya. Bedanya dengan pembeli produk Teman Ahok adalah selain untuk memiliki barang namun yang lebih dominan adalah sebagai kebanggaan atau untuk menyatakan dukungannya kepada AHOK.

Inilah keistimewaan bisnis Teman Ahok, yang mana tingkat marjin keuntungannya  jauh diatas rata-rata bila dibandingkan dengan bisnis pada industri yang sama. Keistimewaan ini tentu sebagai dampak adanya semangat untuk mendukung AHOK. Di dalam keistimewaan ini pula, terdapat unsur ‘sumbangan’ yang tak kasat mata.

Ujung-ujungnya sebenarnya duit-duit juga yang diterima, namun berbeda ‘cara membungkusnya’.

#donibastian

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.