Djadjat Sudradjat : Istriku Khawatir bila AHOK Tak Terpilih Lagi

djadjat

Hampir setiap hari selama dua pekan terakhir ini, istri saya bertanya soal Ahok.

Pertanyaan itu bisa muncul kapan saja. Bahkan, sehabis salat subuh pun masih bertanya soal sang Gubernur DKI Jakarta itu.

Pokok soalnya ia khawatir Ahok tak terpilih lagi menjadi gubernur pada Pilkada 2017. Padahal, beberapa lembaga survei masih mengunggulkan Ahok bakal kembali memimpin Jakarta.

Namun, kasus dugaan korupsi RS Sumber Waras, berbagai penertiban kawasan kumuh dengan cara yang keras, ‘gerakan asal bukan Ahok’, kata istri saya, bisa menjadi ancaman.

Beredarnya beberapa tokoh ternama yang mungkin maju pada bursa calon gubernur DKI, seperti Yusril Ihza Mahendra, Ridwan Kamil, Adhyaksa Dault, katanya, kalau mereka ‘berkoalisi’ juga bisa jadi kabar buruk bagi Ahok.

Tentu, semakin banyak ‘tokoh’ maju sebagai calon gubernur Jakarta semakin baik hasilnya.

Siapa pun yang terpilih akan dimaknai sebagai kemenangan berkelas. Karena itu, tokoh-tokoh terbaik silakan menantang Ahok.

Istri saya justru punya pertimbangan berbeda. Para pemimpin yang bermutu mestinya ‘berbagi tugas dan peran’ dan jangan bertempur di medan yang sama.

“Misalnya Ridwan Kamil yang terpelajar, santun, dan kreatif, cocoknya membereskan Bandung dan Jawa Barat. Soalnya agak mutahil Ahok bisa terpilih untuk memimpin Tanah Pasundan. Saat ini karakter Ahok-lah yang paling pas memimpin Jakarta yang ‘keras’ dengan birokrasinya yang buruk. Dengan karakter masyarakat kita yang beragam, butuh juga karakter pemimpin sesuai daerah tertentu,” kata istri saya.

Ada benarnya saran ‘pembagian tugas’ itu. Namun, cara pandang itu tak memberikan kesempatan kepada orang-orang terbaik untuk meningkatkan karier politik. Presiden Joko Widodo adalah contoh yang paling konkret.

Menurut istri saya, yang sejak balita sudah menjadi warga Jakarta, dan kemudian paling sering berhubungan dengan kelurahan mengurus berbagai kepentingan administrasi, baru sekaranglah aparat kelurahan melayani warga.

Dulu tak ada uang, tak ada pelayanan.

“Siapa yang berani melawan DPRD, membongkar korupsi, membereskan Waduk Pluit, Menteng Pulo, dan Kalijodo? Siapa yang berani menata birokrasi di DKI Jakarta yang seperti rimba belantara kalau bukan Ahok?”

Ia memang sudah ‘Ahokmania’.

Ketika seorang kerabatnya bertanya, kenapa tak memilih pemimpin yang satu agama, istri saya menjawab enteng, “Karena belum ada pemimpin Jakarta yang lebih baik daripada Ahok.”

“Gubernur arogan, kasar, dan pemarah, dibilang baik?”

Kerabat itu memprotes.

“Ahok itu arogan, kasar, pemarah, tapi dipakai sesuai kepentingannya. Tingkat kemarahan Ahok itu tergantung persoalan yang dihadapi. Kalau sering marah dan marahnya tinggi, persoalan yang dihadapi memang parah. Marah yang fatanah alias cerdas,” jawab istri saya santai.

Istri saya pula yang menunjukkan pada kerabatnya itu, betapa Ahok yang Protestan berupaya meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad SAW seperti dikutip di awal tulisan ini.

Beberapa kali saya juga mendengar Ahok meminta para pemimpin menjadi sidik (jujur), fatanah (cerdas), amanah (dapat dipercaya), dan tablig (menyampaikan kebaikan). Sifat-sifat yang kerap dilupakan oleh para pemimpin (Islam) sendiri.

Saya kira hingga pemilihan gubernur tahun depan–jika Ahok tak tergelincir sesuatu yang serius, istri saya yang awam politik itu bisa jadi akan jadi pendukung Ahok yang setia.

Istri saya, sebagaimana rakyat pada umumnya, memang rindu pada pemimpin yang hadir untuk membereskan ‘segala sesuatu’.

Bukan menjadi bagian dari ‘segala sesuatu’.

Pemilih seperti ini jelas melintasi politik aliran, terlebih politik bayaran.

Ini kabar baik bagi demokrasi Indonesia yang transaksional.

Djadjat Sudradjat
Dewan Redaksi Media Group

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.