Janji adalah utang. Dan, ini bukan janji politik sehingga saya tak perlu banyak bercakap bagus, pasti saya tepati. Sudah banyak yang mendengar bahwa saya dan teman-teman yang pernah bergabung dalam Tim Gubernur Basuki Tjahaja Purnama berkesempatan untuk mengunjungi mantan bos kami, Jumat kemarin.
Alhasil, banyak yang ingin mendengar cerita dan pengalaman kami berkunjung. Berhubung saya malas cerita berkali-kali, jadi saya putuskan untuk bercerita dalam satu tulisan. Sebagai catatan, momen saya dan teman-teman mungkin sama, tapi pengalaman yang didapatkan pasti berbeda. Berikut saya bagikan pengalaman pertama saya masuk ke markas polisi elit dalam negeri ini.
Bagi mantan wartawan kriminalitas seperti saya, berkunjung ke penjara bukanlah hal yang luar biasa. Dulu, seringkali saya wara-wiri penjara Polres atau bahkan Polsek, di lima wilayah Jakarta. Saya juga pernah satu kali ke penjara Polda, satu kali ke LP Cipinang dan Rutan Salemba, serta satu kali mengintip ke tahanan sementara KPK di Kuningan. Tapi, kunjungan kali ini berbeda. Walaupun semasa kuliah saya sering melewati daerah Brimob Kelapa Dua, Depok, tak pernah terlintas di pikiran saya bahwa suatu saat nanti saya akan masuk dan mengunjungi salah satu tahanan di sana. Pertama, saya tak punya satu pun keluarga dari kalangan pasukan elit ini. Kedua saya tak berharap kenal dekat dengan tahanan di sana karena biasanya yang ada di dalamnya adalah napi-napi yang dianggap membahayakan negara.
Dua premis saya langsung terbantahkan, karena pada kenyataannya, hari Jumat, 16 Juni 2017, pukul dua siang, saya menjejakkan kaki di dalam Markas Korps Brimob untuk pertama kalinya, dalam rangka menjenguk satu-satunya orang yang saya kenal dan saya anggap keluarga saya sendiri, dengan statusnya sebagai tahanan.
Seminggu sebelumnya, asisten pribadi orang yang mau saya jenguk ini terlebih dahulu mendata nama lengkap saya dan teman-teman, serta nomor polisi mobil yang akan dibawa masuk ke dalam. Jadi, ketika rombongan mobil pertama masuk melewati gerbang utama, kami langsung berhadapan dengan tiga polisi yang sigap menghadang mobil kami demi memverifikasi identitas kami masing-masing.
Setelah kartu identitas kami ditahan sebagai jaminan (well, selalu saja ada yang ditahan kalau berhadapan dengan polisi), mobil kami melenggang langsung ke area parkir gedung Provost, Mako Brimob. Masuk ke area ini hampir mirip rasanya dengan masuk ke satu area kompleks perumahan besar di Jakarta. Sudah ada taman yang menyambut kami di depan kompleks, lalu ada area parkir motor polisi, dan jejeran rumah-rumah dinas para prajurit. Seluruh area bersih, rapi, dengan jalanan mulus tanpa cela. Depok yang terkenal panas di siang hari, tidak terlalu terasa di markas ini karena rindangnya pepohonan dan hijaunya tanaman-tanaman di sekeliling. Sempat nampak ada beberapa prajurit apel siang sambil membawa bendera merah putih. Jarak dari gerbang utama ke gedung tujuan kami, gedung Provost, tak terlalu jauh, mungkin sekitar 500 meter.
Sampai parkiran, kami langsung menuju ke satu dari tiga bangunan Provost yang ada di sana. Seperti gedung-gedung polisi pada umumnya, bangunan ini berbentuk kotak kaku dengan dua lantai yang memanjang seolah menyatukan satu bangunan dengan bangunan lainnya. Seorang polisi yang berjaga-jaga langsungaware dengan kedatangan kami. Kami langsung dipersilakan masuk dan duduk di kursi yang tersedia.
Saat itu, saya masuk bersama rombongan pertama yang terdiri dari 8 orang. Kami pikir ruangan akan langsung penuh sesak. Ternyata, sudah ada sekitar 15 tempat yang disiapkan untuk menunggu giliran kunjungan. Setelah nama kami didata oleh dua orang polisi wanita berpakaian sipil, kami langsung duduk dan berbincang-bincang.
Sesekali kami diingatkan untuk tidak terlalu berisik agar tidak menganggu kegiatan perkantoran Provost di sana. Kami juga masih menunggu rombongan mobil kedua yang terdiri dari 4 orang lainnya. Selain kami, sudah ada 7 orang yang datang lebih dulu, terdiri dari ibu-ibu, bapak-bapak, dan 2 pemudi.
Sudah pukul 14.30 dan kami belum juga dipersilakan masuk, oh bahkan rombongan yang datang lebih dulu belum dipanggil. Tak berapa lama kemudian, masuklah penyanyi Ello dan salah satu member Slank, Ridho. Mereka langsung masuk ke ruangan tempat kami akan bertemu tahanan yang dijenguk nantinya.
Pukul 14.40, rombongan yang sudah di dalam selama 20 menit keluar. Ternyata isinya personil Slank, kurang Abdee saja, Bunda Ivet pun datang. Slank memang dikenal sebagai salah satu pendukung tahanan ini. Menurut mereka, mereka akan dukung siapapun politikus yang menggaungkan pemerintahan yang bersih dan jujur. Rombongan bertujuh selanjutnya pun masuk. Kami menunggu lagi selama 20 menit. Tepat pukul 15.00, giliran kami untuk menitipkan HP dan tas di meja yang telah disediakan. Beberapa dari kami tetap membawa oleh-oleh untuk diberikan di dalam ruangan.
Ah, itu dia.
Pria berperawakan besar yang tingginya lebih kurang 30 cm daripada saya ini nampak juga. Dia menyalami kedua belas orang dari kami, satu per satu, sambil menanyakan kabar kami semua. Lah, harusnya kami duluan yang nanya soal kondisi bapak ini di dalam sel. Kesamaan dari kami saat itu, hanya bisa tersenyum sambil tercekat, tak ada suara yang muncul. Mata beberapa dari antara kami mulai merembes.
Saya? Mencoba sebaik mungkin bertahan tanpa menangis, karena dilalah saya duduk tepat berseberangan dengan bapak ini. Oh, ya inilah Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, mantan bos kami di Balai Kota DKI Jakarta untuk kurang lebih 1,5 – 2 tahun, dan sekarang sedang menjalani hukuman penjara selama dua tahun. Hukuman yang seringkali masih membuat kami keki kalau mengingatnya.
Ruangan yang disediakan untuk menampung tamu itu layaknya ruang rapat yang bisa dipenuhi hingga 30 orang sekaligus. Suasananya nyaman, pakai AC, ada sofa dan kursi, satu meja panjang, dan dua meja bundar. Kami ditempatkan melingkari Bapak, di meja bundar, persis seperti suasana makan bersama Bapak di Balai Kota.
Sebelum punya pikiran buruk, saya sampaikan bahwa Bapak ada di ruangan ini hanya saat dia menerima kunjungan tamu. Sisanya, Bapak ada di dalam sel atau di area sekitar sel yang menjadi tempat tinggalnya saat ini. Ada satu ajudan Bapak yang mengingatkan bahwa kami hanya punya waktu maksimal 20 menit. Setelah kami semua duduk, Bapak langsung mempersilakan kami yang tidak berpuasa untuk ambil botol air mineral. Tahu saja Bapak kalau kami haus selama menunggu (atau malah deg-degan).
“Mau ngomong apa nih? Ada yang mau tanya?”
Pertanyaan dari Bapak sontak membuyarkan lamunan singkat kami. Ternyata saking bingungnya, kami bahkan lupa untuk mulai berbincang dengan bapak. Akhirnya, salah satu staf memecah kebuntuan dengan satu pertanyaan awal, “Bapak sekarang lagi baca buku apa?” Dari situ, perbincangan dimulai. Alurnya mengalir seperti biasanya Bapak cerita. Ada naik dan turunnya. Ada sisi humornya. Sekian detik kami manggut-manggut, dan sesekali menyeka air mata. Nampaknya, Bapak yang saat itu memakai polo shirt cokelat dengan celana bawahan berwarna serupa maklum terhadap kami yang tetiba membisu. Tapi, saya melihat kelegaan dari wajah Bapak. Ada beban yang akhirnya bisa dibagikan dengan segerombolan mantan anak buahnya. Atau, mungkin sesimpel lega karena dia melihat timnya ini tetap solid meski sudah tak bekerja bersama lagi.
Bapak bercerita bahwa saat ini dia sedang membaca buku tentang tutur kata dan gaya komunikasi masyarakat Jawa. Kami langsung tertawa. Saya sendiri berpikir, apa yang mau dia dapatkan dari gaya ala Jawa ini? Semoga outputnya sih seperti Jokowi, bukan Soeharto. Rupanya Bapak mau coba memahami apa yang berbeda dari komunikasi orang Jawa sehingga dirasa selalu benar meski konten dialognya mungkin tak berisi. Setidaknya saya tahu bahwa Bapak masih punya keinginan untuk belajar hal-hal baru meski terkungkung.
Selain itu, Bapak juga sedang belajar menulis dan membaca huruf Mandarin. Selama ini, Bapak hanya fasih berbicara Mandarin. Bapak sadar bahwa kemampuannya menguasai bahasa Mandarin secara menyeluruh dapat meningkatkan valuenya nanti setelah keluar dari penjara.
Namun, Bapak kadang mengeluh. Sukarnya menaklukkan Bahasa Mandarin membuatnya harus konsentrasi penuh menghafal setiap goresan huruf-huruf tersebut. Waktu yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Makanya, kadang Bapak kepikiran untuk cepat-cepat menyudahi jam kunjungan supaya bisa menamatkan buku basic level Bahasa Mandarinnya.
Sekarang, kata Bapak, dia bisa dengan asyik menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca. Waktu seolah-olah selalu berpihak padanya. Tak ada batasan waktu karena harus rapat, menulis surat disposisi, menghadiri berbagai pertemuan, ataupun sekedar pergi keluar dari tempat tinggalnya sekarang. Sekarang semuanya jadi kayak tanggal merah buat gue, katanya. Lalu, saya guyon membalas, “Lah kita juga pak. Tenang aja.”
(LOL. Sesungguhnya ini miris bercampur curcol)
Kegiatan lain yang Bapak gemar lakukan adalah berolahraga. Ada salah satu dari kami sempat memerhatikan massa otot tangannya. Nampaknya makin kekar, katanya. Benar saja. Bapak bilang, dia bisa berolahraga dua jam setiap pagi dan sore. Berbagai latihan dia lakukan: senam jantung, push up, sit up, latihan otot bawah untuk perkuat lutut, hingga pull-up. Tak lupa, Bapak menggunakan alat ukur detak jantung untuk mengontrol seberapa berat olahraga yang sudah dilakukan. Pull-up menjadi latihan favorit Bapak. Dia merasa keren, seperti Batman katanya. Tapi, saya rasanya alasan utamanya adalah untuk menakut-nakuti napi lainnya. Kata dokter di penjara, untuk bobot bapak yang mencapai 90 kg itu teorinya tak mungkin melakukan pull-up. Tapi, Bapak bisa. Bukan bapak jika tidak bisa mendobrak sesuatu dan menjadikannya lebih baik kan? Jadi, kata Bapak, para napi bisa lihat bahwa Bapak bukannya menjadi tak berdaya di sana, tapi sebaliknya.
Lalu, Bapak bercerita soal dirinya yang beradaptasi dengan suasana di dalam sel. Satu hingga dua minggu pertama, Bapak tidak bisa tidur. Rasanya seperti semua beton tembok ingin menghimpit dan menghancurkannya. Satu jam sekali Bapak terbangun dari tidurnya. Segala doa yang dipanjatkan tak mempan juga. Hanya bisa pasrah menunggu fajar tiba dan pintu sel terbuka, baru bapak bisa bernapas lega.
Pernah satu malam, dada Bapak terasa sesak. Bapak tahu itu bukan serangan jantung karena dia tak berkeringat dingin. Bapak sempat panik dan meneriaki penjaga sel yang terlelap. Tapi, Bapak menolak dipanggilkan dokter. Dia tahu fisiknya baik-baik saja. Namun hati dan pikirannya tidak. Belakangan Bapak tahu, itu adalah ‘serangan’ wajar untuk napi yang baru dijebloskan ke dalam penjara. Bapak banyak belajar dari para napi lainnya untuk berdamai dengan kehidupan baru mereka ini.
Bapak ditempatkan di salah satu sel terdepan yang ada di Mako Brimob, letaknya dekat dengan gedung Provost, tempat Bapak menerima kunjungan. Di sana ada empat sel yang masing-masing berukuran 4 meter x 3 meter. Biasanya yang menempati adalah polisi yang terseret kasus kriminal. Brotoseno (suami Angelina Sondakh) menjadi salah satu penghuninya. Kebetulan sel yang ditempati Bapak dekat dengan salah satu ruangan kantor Provost, jadi kadang dia sempat kena sedikit-sedikit ‘angin surga’ dari pendingin ruangan yang terpasang di sana.
Di dalam sel Bapak ada kasur, meja kecil, dan kamar mandi seadanya. Ruangan selnya mirip seperti ruangan sel untuk tahanan KPK (tapi bukan versi upgrade hasil sogokan pejabat korup). Bapak senang sekali ketika tahu ada meja di sana. Dia bisa menulis kerangka buku yang sedang dia susun, serta membalas surat-surat warga yang datang. Satu yang Bapak tidak sukai.
“Gue sebenarnya paling gak tahan sama kamar mandinya.”
Ukuran kamar mandinya persis untuk menampung badan Bapak dengan disisakan jarak kurang dari sejengkal kalau Bapak bergerak. Di depannya, ada kloset seadanya. Lantai kamar mandi yang tak bersekat dengan lantai kamar membuat Bapak harus berkali-kali mengelap lantai agar air tak mendekati kasurnya. Bapak tak tahan becek. Hal yang membuatnya paling sepi adalah saat-saat dirinya duduk di kloset.
Jika dia berada di rumah, Bapak akan langsung menyetel televisi. Kali ini tak ada TV, tak ada satu pun alat elektronik. Letak kloset yang langsung menghadap ke arah meja juga sempat membuat dirinya tak nafsu makan. Satu lagi, pada awal-awal dirinya menginap di hotel prodeo itu, dia belum terbiasa dengan ‘keterbukaan’ kamar mandi di tiap sel.“Motto gue emang transparan, tapi kalau kamar mandi juga transparan, aduh.. malu gue,” guyon Bapak. Ya, saat ini Bapak bahkan sudah bisa membuat candaan dengan kondisinya sendiri.
Malam sebelum kami menjenguk rupanya ‘serangan’ sesak itu datang lagi. Sekarang Bapak sudah bisa mengatasinya. Modalnya satu, ikhlas. Kata Bapak, rasa sesak selalu menyerangnya setiap kali dia berpikir keras soal ketidakadilan yang diterimanya. Namun, sesak itu hilang dengan sendirinya ketika dirinya langsung berserah kepada Tuhan terhadap hidupnya di dalam penjara. Jujur, kata Bapak, rasa keki itu selalu ada. Benar adanya bahwa iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Maka, Bapak menunjukkan level keimanannya sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang bisa dia lakukan di dalam penjara. Itung-itung menjaga kadar kewarasan seorang napi tak biasa yang masih terus coba digerus pihak luar meski dirinya sudah dijebloskan ke penjara.
Bapak juga bilang bahwa kami tak boleh menyimpan amarah terlalu lama agar hidup kami ke depannya bisa lebih lega dan kami bisa berbuat optimal dalam segala pekerjaan kami. Kata Bapak, kami harus memikirkan hari-hari depan. Berbeda dengannya yang tidak perlu memikirkan hari-hari depan. Menurut pengalaman para napi, hal yang harus dipikirkan adalah apa yang mau diperbuat hari ini. Karena jika memikirkan hari esok, pikiran akan terhimpit dengan kenyataan bahwa besok mereka masih di dalam penjara. Ternyata, kesusahan sehari hanya cukup sehari benar adanya.
Terakhir, makanan tetap menjadi obat jitu bagi Bapak. Misalnya, Bapak sebenarnya kesal ketika ada pejabat yang ujug-ujug datang di malam hari untuk mengobrol ngalor-ngidul, padahal Bapak ingin istirahat. Tapi, kekesalannya terobati ketika mereka membawakan makanan kesukaan Bapak: pempek, durian, atau cokelat misalnya. Saat kami berkunjung, Bapak sedang ingin makan martabak. Saya sudah menyuruh salah satu teman untuk sebelumnya membelikan martabak, eh dia malah beli durian. Akhirnya, usai kunjungan, saya dan beberapa teman membeli martabak ovomaltine dan martabak keju kesukaan bapak, ditambah martabak telor daging sapi mozzarella sebagai bonus. Sukur-sukur martabak telornya bisa untuk tambahan lauk sarapan. Bapak sebenarnya ingin makan sushi dan sashimi dari Sushi Masa, tapi sepertinya Bapak sadar sendiri bahwa sushi-sushi itu akan keburu rusak ketika sampai di Depok. Jadi, dia hanya tertawa miris saja sambil membayangkan rasanya.
Tak ada satu pun dari kami yang update soal film terbaru di bioskop, lagu terbaru saat ini, restoran seafood baru yang sedang digandrungi orang, ataupun gossip terkini. Kami sadar bahwa semakin banyak Bapak tahu tentang dunia luar, semakin ada keinginan Bapak untuk keluar secepatnya. Padahal, itu mungkin tak baik bagi psikisnya.
Pesan terakhir dari Bapak hanya satu: Tolong bilang sama pengunjung, dari agama apapun, kalau mau cerita soal nabi, jangan soal Nabi Yusuf terus. Saya sampai bosan. Nabi kan ada banyak. Saya pun membalas:
Yola: “Yaudah pak, Bapak aja yang ceritain balik ke mereka soal tokoh-tokoh yang Bapak baca dari buku. Ini saya bawakan Bapak buku seri tokoh Tempo: Sjahrir. Bapak bisa cerita soal Sutan Sjahrir, salah satu tokoh bangsa, dengan integritas tinggi dan ketangguhannya yang mampu menggoyang podium internasional untuk memberitakan bahwa Indonesia telah merdeka.”
Bapak: “Sjahrir bukannya mati di penjara? Waduh…”
Yola: (cepat-cepat saya membalas) “Eh buset bukan pak. Beliau mati di Zurich karena sakit. Pembuluh darahnya pecah di otak pas nonton berita bahwa Soeharto naik jadi Presiden.”
Bapak: “E gileee. Oke deh ntar gua baca. Makasih ya.”
Satu concern Bapak yang belum terjawab. Bapak kangen melayani warga Jakarta. Kata Bapak, melayani warga itu sudah menjadi passion dan hobi dia. Tak pernah ada rasa bosan menjalaninya. Itu satu-satunya hal yang belum bisa dia atasi hingga kini. Kamu tahu bagaimana menjawab pertanyaan Bapak yang ini:
Kapan ya saya bisa kembali bermanfaat bagi orang banyak ?
Sumber : Akun Facebook David Faniesin