Tuhan (Allah) Meminjam lidah Ahok. Hasilnya luar biasa. Umat Islam (sebagian) merasa tersinggung, maka label disematkan: penista. Beberapa kali gelombang demo terjadi. Puncaknya, pada tanggal 2/12 Desember 2016, ribuan umat muslim berkumpul di halaman Monas Jakarta dan sekitarnya.
Mata saya berkaca-kaca, sambil berjalan ke masjid terdekat untuk salat Jum’at. Bukan karena haru, sebaliknya sedih, karena seperti melihat buih.
Lewat lidah siapapun, Tuhan mememberikan tausiahnya. tak hanya terbatas pada para nabi, rasul, wali, biksu, serta tak memilah-milih warna kulit dan mata sipit atau belo. Tak memilih bangsa dan agama, karena semua adalah hambaNya. Sehingga kata-kata bijak akan meluncur lewat lidah seorang atheis sekalipun.
Diakui, sebagai pejabat publik dalam berbicara entah pilihan kata dan keruntutannya, Ahok dinilai kurang baik. Boleh disebut bahasa Indonesia pasaran. Kadang sering terdengar belepotan. Justru, disinilah Tuhan “memijam” lidahnya. Sebagai Kemahakuasaannya, Tuhan berhak menggunakan miliknya tanpa harus punya alasan apapun. Bukan hanya mengetahui daun yang gugur dan sudah menggariskanya dalam kitabNya (Al-An’am: 59), atau menguasai ubun-ubun setiap manusia (Surah Hud: 56).
Justru dari “kurang fasih” dalam berpidato itulah Tuhan (Allah) meminjam lidah Ahok, Coba saja lihat kalau dia berbicara. Atau lihat saja di You Tube, ketika berbiacara di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, yang kemudian menimbulkan kehebohan setelah di edit oleh Buni Yani. Namun disini, tak akan dibahas bagaimana ucapan Ahok ketika berbicara di Pulau Pramuka, Kepulauan seribu. Jika ingin memhaminya silahkan melihat di laman pakar linguistik, Bambang Kaswanti Purwo, Guru Besar Linguistik Unika Atmaja dengan terang benderang mengupasnya disini.
Kalau meminjam teori paragdimatik dan sitagmatik dari Ferdinand de Saussure, bapa Linguistik Modern, kita bisa mendedah secara jelas bagaimana ayat-ayat kauniyah yang diberikanNya. Ayat kauniyah merupakan ayat atau tanda berwujud dari sekeliling. Dapat dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dll.
Dan, segala peristiwa yang terjadi, entah dalam lingkungan yang paling kecil, atau dalam kerangka yang lebih luas seperti ke-indonesi-an, tak lepas berada pada tataran linear saling bertautan. Inilah rangkaian peristiwa diibaratkan sumbu imajiner horizontal disebut sintagmatik. Peristiwa yang terjadi itu, setidaknya memiliki suatu persamaan.
Kita beri label saja pada tataran sintagmatik ini, yaitu : penistaan (agama), maka akan berderet sejumlah peristiwa yang terjadi berkait ini: korupsi dan penipuan berkedok agama. Siapa yang menafikan, bahwa korupsi bukan perbuatan menistakan agama (Islam)? Dinilai secara hukum negara, korupsi bukan lagi sebuah kejahatan yang biasa. Bahkan pada perkembangannya korupsi telah terjadi secara sistematis dan meluas. Sehingga menimbulkan efek kerugian negara dan dapat menyengsarakan rakyat, maka korupsi kini dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tindakan korupsi disetarakan dengan tindakan teroris.Apalagi secara agama, maka tak perlu mencari-cari dulal-dalil. Demikian pula tak perlu ngotektak Al-Qur’an. Cukup menyimak QS 103 dan 107.
Jika dideretkan peristiwa tindak korupsi di Indonesia ini, maka akan terlihat peristiwanya berderet panjang dalam sumbu tataran sitagmatik. Sekian ratus peristiwa (juga pelakunya) korupsi yang dilakukan pejabat publik, bisa dibandingkan jejeran kendaraan akibat rusaknya jembatan Cisomang di Purwakarta. Puncaknya penistaan dilakukan Suryadarma Ali, sebagai pemimpin lembaga negara dengan label agama. Bahwa tindakan korupsi yang dilakukan menteri agama ini, sejatinya sangat menistakan ajaran agama Islam.
Sementara itu, tindakan penipuan yang dilakukan Kanjeng Dimas Taat Pribadi dan Gatot Brajamusti tak lepas dari tindakan penistaan, karena melakukannya melalui kedok agama (Islam). Siapa yang menafikan kejadian ini, juga bukan sebuah penistaan.Bukankah keduanya menggunakan atribut atau symbol agama (Islam). Bahkan kedua peristiwa ini, muncul hampir berberengan dengan hebohnya peristiwa yang dianggap penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Namun bagaimana reaksinya? Seturut pada tantaran paragdimatik, kita beri saja label: tindakan. Pada tataran ini (paragdigmatik) dapat diibarkan dalam garis imajiner vertikal, maka sejumlah tindakan dari reaksi penistaan tadi, hanya fokus ditujukan pada peristiwa yang dilakukan pada Ahok. Sementara pada peristiwa korupsi dan penipuan berkedok agama, tidak dilakukan. Bahkan ada jargon “pokoknya (yang dilakukan Ahok) penistaan”. Seolah yang lainnya bukan penistaan.
Bahkan, tindakan pada penista (agama) diberi label penegasan, seperti “Bela Agama”, “Bela Al-Qur’an”, “Bela Islam” atau “Aksi Damai”. Meski sebenarnya penegasan label ini, terasa rancu. Betapa tidak? Sejatinya agama, Al-Qur’an dan Islam adalah pedoman hidup. Jika diibaratkan dengan benda, yaitu tongkat untuk memandu di jalan yang gelap. Artinya, tongkat itulah yang membela kita bukan sebaliknya. “Jadi, jangan ge-er kaau ada yang mengatakan kita bela Islam, bela agama…” kata Cak Nun. Demikian pula Gus Dur (Abdurahman Wahid) dia menyatakan “Tuhan tak perlu dibela.” Dan aksi damai bukanlah tak ada keributan semata, namun ironis jika ada yang merasa terancam.
Tidakan yang dilakukan terhadap penistaan tadi, pada tataran paragdigmatik yaitu dengan mengadakan demontrasi. Tindakan ini, berkaitan dengan tindakan demontrasi, seperti boikot (pada sebuah produk roti) — namun lucunya, kemudian melahirkan produk makanan yang sama, terlebih dengan merk yang hampir mirip surah dalam kitab suci agama Islam yang menjadi pangkal kehebohan.
Tindakan lainnya, yang mau tak mau, berhubungan dengan tindakan dalam tataran paragdigmatik tadi, yaitu salat subuh berjamah yang mengambil lokasi tertentu. Tentu saja hal ini tidaklah salah.. Tapi tak menjadi elok, apabila tindakan berjamaah tadi, menjadikan masjid sekitar rumah masing-masing jamaah menjadi lenggang. Apalagi tindakan tadi hanyalah gehgeran (latah) semata.
Padahal Tuhan (Allah) telah memberikan penuntun tindakan –dalam tataran paragdigmatik tadi– dengan ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an, yang di dalamnya menyajikan berbagai aspek) dan sikap rasulNya (Muhammad saw). Diantaranya tabayun, menghindar, jangan membalas dengan perbuatan sama, memaafkan dan welas asih. Paling mendasarkan sekali adalah sikap adil, karena sikap ini lebih dekat pada taqwa (QS 5:8).
Laku tindakan dalam tataran paragdigmatik ini (meminjam frasa Guru Besar Linguistik, Prof. Bambang Kaswanti) bagaimanapun pilihannya, kita selalu lakukan apa yang terbaik. Terutama untuk kita lakukan bagi sesama kita menurut suara hati nurani. Dan, ini sebagai anugerah terbesar dari Sang Khalik bagi kita masing-masing untuk dapat tetap menjadi seorang yang takwa.
Penulis : Alief El-Ichwan
‘Kala Tuhan Meminjam Lidah Ahok’