Dulu mereka mendukung aku jadi walikota. Sekarang, setelah aku jadi walikota, mereka suruh aku ikut Pilkada Jakarta. Bukannya aku tak mau atau melawan kebijakan partai, maksudku itu, coba lah berpikir dengan hati.
Aku menyadari bahwa aku berada di ranah politik. Aku juga sadar bahwa aku ini kader partai besar. Tapi apakah aku harus membunuh kata hatiku sendiri, demi membela kepentingan partai?
Sejujurnya, aku sungguh cinta Surabaya, dimana aku sudah limpahkan semua waktu dan segenap kemampuanku untuk membangun kota itu agar menjadi lebih baik lagi. Sekarang, ketika semuaya sudah berubah menjadi lebih baik, dan warga masih berharap agar aku tak mengkhianati janjiku untuk menyelesaikan masa bhaktiku sebagai walikota, mengapa ada yang membujukku agar mau jadi Gubernur DKI?
Mereka menilai aku bisa mengalahkan AHOK, tapi ini bukan masalah menang atau kalah, tapi masalah komitmen. Aku bisa saja pergi meninggalkan Surabaya untuk bertarung di Jakarta melawan AHOK, tapi apakah harus mengorbankan janji dan melanggar komitmenku sendiri dengan seluruh warga Surabaya?
Menurutku, AHOK juga pejabat yang hebat. Dia anti korupsi, tapi sayang, ada sebagian orang yangg menilai bahwa AHOK terlalu kasar, arogan dan tak punya etika. Kalaupun aku bisa mengalahkan AHOK, tapi itu tak membuatku bangga. Sebab dengan kemenangan itu, aku telah meninggalkan perasaan kecewa dan luka hati sebagian warga Surabaya.
Sebaliknya bila aku kalah melawan AHOK, tentu akan semakin menambah rasa sesalku dan rasa sesal seluruh warga Surabaya, meskipun aku tak masalah meski tak menjadi pejabat apapun juga.
Bagiku, jabatan adalah amanah dari rakyat dan tak perlu kuperjuangkan mati-matian. Biarlah rakyat yng menentukan pilihan. Mereka sudah bisa menilai dari apa yang telah kulakukan selama ini.