MYAHOK.COM-Seorang pejabat yang berani apalagi seorang menteri tentu sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja dan menyelesesaikan persoalan besar di negeri ini. Tapi bila keberanian yang ditunjukkan tidak memperhitungkan dampaknya bagi stabilitas nasional, baik dibidang politik maupun ekonomi, apalagi sampai menimbulkan resiko disintegrasi bangsa, justru hal ini seharusnya dihindari.
Beberapa menteri yang saya nilai berani tapi ngawur diantaranya adalah Rizal Ramli. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini memang dikenal berani dan tak pernah takut kepada siapapun, dan sangat populer dengan jurus ‘Rajawali Ngepret’nya. Namun demikian dalam menanggapi kasus Reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang mana Rizal Ramli terang-terangan akan menghentikan proyek Reklamasi tersebut adalah suatu keberanian tapi ngawur. Mengapa saya berani mengatakan Rizal Ramli ngawur, sebab proyek Reklamasi Pantura merupakan kebijakan pemerintah sejak tahun 1995 yang telah tertuang dalam Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995 Tentang : Reklamasi Pantai Utara Jakarta, yang kala itu ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
KepPres tersebut hingga detik ini belum pernah diubah apalagi dibatalkan. Oleh sebab itu, Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dilindungi dengan payung hukum yang sah. Bila saja Rizal Ramli memiliki argumen atau analisis tersendiri yang menyatakan bahwa Proyek Reklamasi tersebut harus dibatalkan karena banyak menimbulkan kerugian atau dampak negatif lainnya, itu adalah hak seseorang untuk berpendapat.
Namun demikian, bila ingin mengubah kebijakan terkait proyek Reklamasi tersebut, apalagi untuk membatalkannya tentu harus menempuh proses hukum yang berlaku, yaitu dengan melalui Keputusan Presiden. Jadi dengan demikian, bila Rizal Ramli tetap mau ngotot untuk membatalkan Proyek yang bernilai ratusan Triliun tersebut bahkan terkesan menantang kebijakan Gubernur AHOK, maka disinilah justru menimbulkan pertanyaan, apa yang seseungguhnya diinginkan Rizal Ramli, sedang secara hukum, jelas-jelas bahwa pembatalan Proyek tersebut adalah wewenang Presiden dalam hal ini sebagai pembuat Surat Keputusan. Sebagai seorang pembantu Presiden, RR sama sekali tak punya wewenang untuk membatalkan proyk reklamasi tersebut. Jadi, tidaklah berlebihan bila tindakan Rizal Rami tersebut saya katakan ngawur !
Sudirman Said dalam kasus ‘Papa Minta Saham’
Ada lagi Menteri yang sempat membuat heboh negeri ini dalam kasus Papa Minta Saham. Menteri ESDM Sudirman Said, menurut saya juga termasuk Menteri yang berani tapi ngawur.
Mengapa demikian? Memang, apa yang dilakukan Sudirman Said melaporkan Setya Novanto ke Badan Kehormatan DPR terkait kasus Papa Minta Saham adalah suatu hal yang membutuhkan keberanian. Namun keberanian itu hanya sebatas menimbulkan kegaduhan publik dan sama sekali tak menyentuh ranah hukum/pidana. Hasil akhirnya hanyalah sebatas mundurnya Setya Novanto dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Dengan mundurnya Setya Novanto, sama sekali tak menimbulkan dampak hukum terhadap dirinya, dan bahkan sekarang Setya Novanto malah terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Dalam kasus Papa Minta Saham, Sudirman Said, pada satu sisi benar, sebab berpihak untuk melindungi kepentingan negara terkait dengan perpanjangan kontrak PT Freeport di Papua, namun disisi lain, Sudirman Said ini sekadar membuka ‘rahasia’ dengan cara mempublikasikan rekaman secara diam-diam antara petinggi PT Freeport dan Setya Novanto.
Sampai disini saya sama sekali tidak membela Setya Novanto, sebab apa yang dilakukan oleh SN terkesan sebagai ‘calo’ dan banyak mencatut nama pejabat, bahkan Presiden dan WaPres. Perbuatan SN memang sangat memalukan dan tidak terpuji. Sebagai anggota dewan, SN seharusnya tidak pantas melakukan hal demikian sebab urusan perpanjangan kontrak PT Freeport dan Pemerintah, mutlak adalah wewenang pihak Eksekutif, dhi. Kementerian ESDM, dimana Sudirman Said sebagai menterinya.
Tapi bila dipetik hikmah dari kasus ini, adalah sebagai cerminan bahwa memang demikianlah perilaku Anggota Dewan, yang biasa ikut campur dan mencari kesempatan agar dapat berada pada posisi kunci, sehingga seolah-olah atas keberadaannyalah semuanya bisa terjadi. Dengan posisi yang mengaku bisa mengatur ini-itu, maka anggota dewan akan memperoleh kesempatan untuk mengeruk uang dari pihak yang merasa diuntungkan.
Sudirman Said seharusnya menyeret Setya Novanto ke ranah hukum dengan melaporkannya ke KPK atau kepolisian, sehingga bila memang perbuatannya merugikan negara, tentu akan diproses secara hukum agar mendapatkan hukuman yang setimpal. Tapi mengapa tak dilakukannya? Mengapa SS hanya berkutat di ranah politik saja, dan hanya menimbulkan polemik dan kegaduhan publik?
Kedua menteri diatas, baik Rizal Ramli (RR) maupun Sudirman Said (SS) bolehlah bila dinilai sebagai menteri yang punya nyali besar alias pemberani, tapi sayang tindakannya ngawur dan tak memberi manfaat yang berarti.
Apakah dengan adanya kedua kasus di atas, akan menjadi pertimbangan Presiden Jokowi untuk me-Reshuffle kedua menteri tersebut?
Wallahu A’lam Bissawab..
Penulis : Doni Bastian
1 Komentar