Menyoal AHOK

Menyoal AHOK

MYAHOK.COM–Harus diakui, Ahok sedang menjadi salah satu sosok pemimpin “yang patut dipertimbangkan menjadi panutan” di Indonesia. Hampir lima tahun memimpin ibukota, Ahok seperti menunjukan masih ada pemimpin yang mampu memahami suasana rakyat. Pola pikirnya yang out of the box diiringi eksekusi kebijakan yang kongkrit. Komunikasinya yang hard, cenderung “masa bodoh” serta terlalu ofensif dan konfrontatif kemudian menjadi cermin sebuah integritas. Sesuatu yang lama hilang di Republik ini.

Padahal kapabilitas pejabat publik ketika berkomunikasi perlu untuk diperhatikan oleh karena ada etika yang melekat dalam komunikasi mereka. Bahwa produk komunikasi (pernyataan, press release dll) pejabat publik tidak bisa hanya dimaknai sekedar refleksi, akan tetapi juga representasi. Oleh karena itu ada istilah “great leaders are great communicators”. Permasalahannya, Ahok hanya memaknai pernyataan-pernyataannya dalam konteks refleksi dengan mengabaikan konteks representasi.

Hal ini diamini banyak orang, termasuk saya. Kebanyakan dari pernyataan Ahok selalu menuai kontroversi. Buktinya sangat banyak, dan mudah dilacak di internet. Hasil dari penelitian sederhana saya memperlihatkan, mulai dari rakyat, anggota dewan, perusahaan negara sampai kementerian pernah kena “semprot”, bahkan objek abstrak yang tidak jelas entah siapa kena juga.

Ahok pernah memarahi para guru honorer yang mengadu soal kecurangan dalam penerimaan PNS. Entah bagaimana kondisinya saat itu, sampai-sampai seorang guru perempuan yang ikut mengadu jadi ketakutan, menangis dan pingsan. Pernah juga menyebut masyarakat di sekitar Waduk Pluit yang akan digusur sebagai komunis.

Kalau dengan DPRD konteksnya mungkin bukan “memarahi”, “memaki” dan  “menghujat” jauh lebih tepat. Pernyataan-pernyataan Ahok  soal dana siluman 12 triliun dalam kisruh APBD DKI tahun 2015 misalnya, mengesankan mereka ini komplotan maling uang rakyat dan begal anggaran. Mengingat memori setahun lalu, saya saksikan lagi di youtube, bagaimana Ahok saking emosinya sampai mengeluarkan kata-kata “taik” dan “bangsat” dalam live talkshow di salah satu Televisi.

Pada pertengahan 2014, Ahok menuding Kemenpora menghalang-halangi proyek mass rapid transit (MRT) di Stadion Lebak Bulus karena tidak memberikan rekomendasi pemindahan stadion. Kita masih ingat perseteruan Ahok dengan Mantan Menpora Roy Suryo sempat hangat saat itu. Lalu pada akhir 2015, Ahok mengusulkan supaya Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebagai penghasil PNS dibubarkan. Kali ini Mendagri yang angkat bicara, menyebut “Ahok tidak memahami Kementerian Dalam Negeri dan sudah melawan Undang-Undang”.

Yang paling menarik menurut saya, ketika banjir melanda Jakarta. Tahun lalu Ahok sempat memarahi PLN karena listrik padam saat banjir, sebutnya ada sabotase. Tahun ini Ahok memarahi “hantu blau” yang dituding menaruh berton-ton gulungan kabel di gorong-gorong bawah jalan, lagi-lagi ada sabotase.

Refleksi Minus Representasi

Dalam pemahaman saya, bahasa sebagai refleksi berarti sekedar hanya sebagai terjemahan dari fakta, yang selalu benar karena didasarkan pada kenyataan di masa lalu maupun yang terjadi sekarang. Adapun sebagai representasi, bahwa bahasa memuat identitas si subjek yang mengeluarkannya.

Pernyataan yang hanya memuat refleksi dengan mengabaikan representasi cenderung menimbulkan konflik, antara si subjek dengan objek yang menjadi sasaran pernyataan tersebut. Kemudian ketidaknyamanan antara si subjek dengan objek yang bukan menjadi sasaran pernyataan tersebut. Selanjutnya, objek yang tidak sadar hanya bisa termanggut-manggut saja. Lalu objek yang sadar dengan ketidaknyamanan tersebut bakal kritis terhadap pernyataan yang keluar.

Kembali ke kasus Ahok, si subjek seharusnya sadar bahwa pola komunikasinya selama ini lebih memunculkan ketidaknyamanan di publik, bahkan berpotensi menjadi konflik yang lebih besar kedepannya. Andaisaja Ahok sadar dengan muatan representasi dari pernyataan-pernyataan yang keluar dari mulut, atau melalui tulisan dari penanya. Kemungkinan besar publik Jakarta 90% mendukungnya.

Sadar bahwa seorang Basuki Tjahja Purnama ialah pemimpin Jakarta yang beragam penduduknya. Lalu sadar akan seorang Basuki Tjahja Purnama, bagaimanapun juga merupakan salah satu etnis yang minoritas di Indonesia yang dalam perjalanan mereka tidak terlepas dari konflik berdarah. Terakhir, sadar dengan rakyat Indonesia yang menaruh harapan pada integritasnya, bukan pada gayanya.

Lebih Banyak Mendengar dan Melihat

Dugaan sementara, Ahok lebih banyak berbicara daripada mendengar, lebih banyak berbuat daripada melihat. Saya pernah membaca pengalaman seorang aktivis pendidikan masyarakat kelas bawah di salah satu koran nasional. Ceritanya si aktivis ini diundang untuk berdiskusi dan memberikan saran kepada Ahok. Akan tetapi nyatanya, selama dua jam lebih yang berbicara hanya si pengundang, bukan yang diundang.

Padahal bagi seorang pemimpin, kemampuan melihat kondisi dan mendengar suara rakyatnya terlebih mendasar daripada kemampuan berbicara dan berbuat. Oleh karena lewat melihat dan mendengar kemudian muncul semacam sentakan di dalam hati. Yang kemudian membuat pemimpin tersebut bisa berefleksi dan berepresentasi dalam pernyataan dan perilakunya ketika memimpin. Lebih jauh, empati inilah yang akan membuat kepemimpinan “hard” tidak akan berbuah tirani.

Penulis: Muhammad Chairul Basyar, S.E., M.Si

*)Ketum Badko HMI Jabotabek Periode 2008-2010

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.