Penyerapan Anggaran DKI Jakarta Rendah, AHOK di Bully oleh Walikota Pontianak

MYAHOK.COM – Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai kinerja Kepala Daerah adalah besarnya penyerapan anggaran yang telah disediakan untuk seluruh program kerja dan kegiatan dalam lingkup pemerintah daerah. DKI Jakarta dinilai sangat rendah dalam merealisasikan seluruh rencana pembiayaan pembangunan yang telah dibuat, bila dikaitkan dengan rendahnya penyerapan terhadap anggaran yang tersedia. Terkait hal ini, tentu tak bisa lepas dari tanggung jawab Gubernur AHOK sebagai kepala pemerintahan di DKI Jakarta. AHOK tentu punya alasan mengapa peenyerapan anggaran untuk DKI Jakarta sangat rendah, sementara AHOK seringkali bicara tegas soal jalannya pembangunan yang dilaksanakan harus sesuai prosedur dan ketentuan dan tak boleh ada unsur KKN didalamnya.

Apapun yang terjadi di PemProv DKI selalu saja menjadi bahan pergunjingan, tak hanya di kalangan bawah, tapi bagi para pejabat yang tak sejalan dengan AHOK, isu rendahnya penyerapan anggaran ini jadi makanan empuk untuk bagi mereka dalam upaya memberi kesan buruk terhadap keberadaan AHOK sendiri.

Sebagaimana artikel berikut yang saya cuplik dari artikel yang ditulis oleh Pebrianov pada situs Kompasiana, yang mana ada seorang kepala daerah di Kalimantan yang secara terang-terangan melalui akun Twitternya menyerang AHOK dengan menggunakan isu penyerapan anggaran. Berikut ini selengkapnya..

Ini bukan mau bikin kaget. Tapi seru. Mungkin akan ada kelanjutannya seperti telenovela. Akankah bersambung menguras emosi penonton? Pontianak hanyalah sebuah kota kecil dibanding Jakarta yang metropolitan. Tapi walikotanya berani komentar pedas pada Ahok soal serapan anggaran Pemda DKI yang rendah. Bahkan terendah se-Indonesia.

Dalam akun twitternya, Sutarmidji Walikota Pontianak menyentil Ahok Gubernur DKI. Entah apa maksud Sutarmidji menyentil Ahok. Apakah bermakna politis karena beda partai. Maklum saja, Sutarmiji adalah salah satu pimpinan partai PPP di Kalbar-satu partai dengan Haji Lulung- ‘kompatriot’ Ahok di Pemerintahan DKI. Atau kah Sutarmiji hanya berlaku sebagai kolega pesama kepala Daerah? Kalau demikian, perlukah membuat pernyataan kritik di media sosial pakai frasa “Bacot”.

penyerapan anggaran

Sebuah kata ‘gaul’ yang berkonotasi tidak enak untuk sebuah pergaulan resmi. Entah etis atau tidak seorang kepala daerah ‘ngomentari’ koleganya di lain wilayah kekuasaan, silahkan menilai sendiri. Atau adakah pelanggaran undang-undang tata negara ‘tak boleh komen rumput tetangga’ ?

Ahok selama ini dikenal galak dan disiplin mengawal pembangunan di wilayah kerjanya. Namun hal itu tak mampu membuat kepala SKPD berani mengeksekusi proyek yang jadi tugasnya. Akibatnya banyak belum terlaksana, sehingga serapan belanja proyek DKI menjadi rendah. Rendahnya serapan anggaran di DKI menjadi Paradok Ahok bila melihat kerasnya dia memimpin jajarannya di pemerintahan. Sejatinya, pimpinan yang keras atau tegas maka segala program bisa terlaksana tepat waktu, tepat anggaran dan tepat personal. Namun nyatanya DKI ‘gagal’ memenuhi hal tersebut Tegasnya Ahok tak mampu membuat jajaran SKPD berani melaksanakan program pembangunan sesuai jadwal yang sudah direncanakan.

Walikota Pontianak Sutarmidji

Tentang Penyerapan Anggaran Persoalan besar di pemerintahan seluruh Indonesia saat ini adalah kecilnya serapan anggaran pembangunan. Banyak proyek yang sudah matang desain dan anggaran tapi tak juga terlaksana. Pangkal masalahnya adalah ‘ketakutan’ kepala SKPD. Kenapa takut ? Jelas saja takut. Siapa sih yang mau masuk penjara karena salah ambil langkah. Walau pun dalam tugas, wewenang dan prosedur sudah jelas, namun dinamika di lapangan sangat berbeda dan kompleks. Ada ‘jembatan keledai’ yang harus dilalui untuk kelancaran program namun rentan digaruk KPK, Kepolisian dan Jaksa Galaknya KPK, Menggeliatnya Polri, bangunnya Kejaksaan dari tidur sangat mengembirakan rakyat. Tapi di balik itu, ada ketakutan tersendiri para kepala SKPD dan Kuasa Pengguna Anggaran (Pimpro) mengekskusi kue proyek yang jadi tugasnya. Semua harus sesuai prosedur. Celakanya di prosedur itu terdapat ‘batu sandungan’ kontraporduktif terhadap jadwal.

Misalnya, sebuah proyek yang ditenderkan murni, ketika dimenangkan sebuah rekanan seringkali mendapat sanggahan dari rekanan lain. Sesuai peraturan memang ada masa sanggah. Dan itu memakan waktu relatif lama. Tender pun bisa diulang, ada masa sanggah lagi. Begitu seterusnya. Akhirnya jadwal pelaksanaan mundur atau justru batal. Anggaran yang sudah ada. Ditahun itu dikembalikan ke kas negara. Jelas serapan anggaran tahun itu berkurang. Tahun depan ditender lagi, kejadian bisa terulang. Berbeda jaman dulu, ketika KPK belum ada. Kepolisian belum bangun, Kejaksaan belum galak, rata-rata proyek sudah diatur pemenangnya. Rekanan pemenang sudah terlebih dahulu ‘memegang’ pimpinan instansi (pemilik proyek). Rekanan pesaing tahu dan memaklumi karena dapat jatah kue proyek di lokasi lain. Tidak ada waktu terbuang untuk sanggah-menyanggah antar rekanan. Mereka sudah ada kesepakatan di luar, didalam-disamping kanan-kiri dan di atas. Begitu ketok palu DPR-DPRD, eksekusi proyek pun berjalan dengan riang gembira aman sentosa selamanya.

Sebagai orang yang dimasa muda dahulu sering menang proyek secara tidak fair dan acapkali juga kalah tidak fair pada proyek pemerintah saya kini tersenyum miris di masa tua. Karena harus menghirup debu jalan negara yang tak juga dikerjakan karena prosedur murni dan ‘psikologis’ si Kuasa Pemegang Anggaran. Padahal jalan itu sudah ada Desain, Anggaran dan Pemenang Tender. HaHa ha ! Eeehh..heuheuheu !

Oh, ya soal cuitan Sutarmidji kepada Ahok yang katanya ‘banyak Bacot’ itu biarkan saja. Jangan banyak bacot. Bisa habis waktu hanya untuk ngurus bacot. Ayo kerja ! Kerja ! Dan Tetaplah Optimis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.