MYAHOK.COM-Setelah digempur habis-habisan di dalam kasus RS Sumber Waras, AHOK lagi-lagi dijadikan sasaran tembak pada kasus Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Namun yang namanya orang berniat baik, mau diperlakukan seperti apapun, tak akan ada yang bisa menjatuhkannya.
Perihal kebijakan yang diambil terkait proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta, kembali diserang oleh banyak pihak yang berada pada posisi berseberangan dengan AHOK. AHOK dinilai menyalahi aturan, dituduh sewenang wenang dan melakukan ‘Diskresi’.
Definisi Diskresi adalah sebuah keputusan atau kebijakan atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam mana peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau karena terjadinya stagnasi pemerintahan. Jadi, ada sebagian kalangan yang menilai AHOK melakukan Diskresi ketika mengambil kebijakan terkait Reklamasi Pantai Utara Jakarta, padahal telah ada Undang-undang yang mengaturnya.
Terkait hal ini, pakar hukum tata negara dari Universitas Airlangga, Harjono, mengatakan putusan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama soal pembangunan fasilitas umum dengan kontribusi tambahan proyek reklamasi di Teluk Jakarta tidak tepat bila disebut sebagai Diskresi.
Merujuk pada definisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Harjono justru menilai pengambilan keputusan tersebut sebagai keputusan manajerial yang memang melekat pada jabatan.
“Kenapa bukan diskresi? Karena kalau diskresi keputusannya satu pihak saja. Sedangkan yang dilakukan AHOK itu adalah keputusan yang diambil berdasarkan pada perjanjian,” kata Harjono.
Menurut Harjono, yang jadi ukuran Doelmatigheid (ketercapaian tujuan) adalah untuk keuntungan siapa. AHOK justru harus diberi apresiasi sebab langkah Ahok karena ketentuan tidak mewajibkan, tapi justru pihak swasta memilih untuk mengikutinya.
“Kalau ada masalah, semestinya swasta yang berkeberatan dan melakukan permohonan pembatalan,” katanya.
Doelmatig, merupakan suatu putusan yang tak hanya berdasarkan pada hukum, tapi juga berdasarkan pada tujuan hukum, yaitu mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. Berbeda dengan Rechtmatig (keabsahan), suatu putusan yang hanya mengandalkan hukum dan perundang-undangan saja.
Di kalangan hakim Indonesia, Rechtmatig masih lebih sering digunakan dibanding Doelmatig. Hal ini, menurut dia, terjadi karena, dari segi pertanggungjawaban, risikonya lebih kecil dalam menerapkan Rechtmatig ketimbang Doelmatig. Selain itu, sistem pengajaran di fakultas hukum cenderung menekankan pada Rechtmatig saja.
“Pembangunan fasilitas umum sebagai kontribusi tambahan proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang tertuang dalam perjanjian tertulis antara Pemprov dan swasta justru menjadi bukti kuat untuk tidak adanya upaya pemerasan,” mantan Hakim Konstitusi itu bertutur.
Harjono mengatakan prinsip hukum ketika terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, yang harus diprioritaskan secara berurutan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian.
Walau begitu, Harjono mengingatkan adanya penjelasan penyalahgunaan wewenang pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang membuat penyidik dan penuntut umum tindak pidana korupsi eks Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, kerap menafsirkan pengertian dan istilah Penyalahgunaan Wewenang.
Hal tersebut akan membuat mudah penuntutan dan pembuktian tindak pidana korupsi oleh Penyelenggara Negara atau pegawai negeri lain atau aparat penegak hukum.
Jika kondisi tersebut terjadi, Harjono mempersilakan Ahok untuk melihat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) demi membuktikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
“Apabila putusan hakim menyatakan tidak ada penyalahgunaan wewenang, pejabat tersebut telah terhindar dari sanksi pidana akibat tindak pidana korupsi, yang selama ini menjadi opini Komisi Pemberantasan Korupsi dan diutarakan ke media massa,” kata Harjono.
Sumber : Tempo.co