Melansir situs https://lembarankertas.id/ yang membahas seputar dunia literasi, berikut ini ulasan terkait. Selama bertahun-tahun, literasi didefinisikan sebatas kemampuan membaca dan menulis. Namun dalam realitas saat ini, definisi itu telah berkembang jauh. UNESCO kini mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, berkomunikasi, dan menghitung, menggunakan bahan cetak dan tertulis dalam konteks yang bervariasi.” Ini menunjukkan bahwa literasi adalah kompetensi multidimensi yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, budaya, dan teknologi.
Tak Lagi Soal Baca dan Tulis
Literasi bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan dasar. Di era informasi seperti sekarang, siapa yang tidak memiliki keterampilan, baik itu informasi, media, digital, hingga finansial—berisiko tersisih dalam dinamika masyarakat.
Gaya Hidup yang Berkembang dari Kesadaran, Bukan Tren Sementara
Menjadikan literasi sebagai gaya hidup bukan berarti sekadar tampil dengan buku di tangan untuk unggahan media sosial dan integrasi antara kebiasaan berpikir kritis, budaya membaca dan menulis, serta dorongan untuk terus belajar dan mencari pemahaman baru—baik melalui buku, media digital, percakapan, maupun observasi sosial.
Gaya hidup ini terlihat dari hal-hal yang tampak kecil: memilih membaca opini di koran daripada hanya judulnya, menelusuri data sebelum percaya berita viral, atau bahkan berdiskusi sehat di media sosial alih-alih memaki atau menyebar hoaks.
Dari Ruang Pribadi ke Gerakan Sosial
Kebangkitan literasi yang tidak bisa dilepaskan dari banyak gerakan akar rumput yang lahir di berbagai penjuru Indonesia. Contohnya:
Komunitas Kampung Buku di Makassar yang aktif mengadakan diskusi buku, kelas menulis, dan kegiatan edukasi anak-anak di wilayah pesisir.
Taman Baca Inovator di Garut yang berkeliling menggunakan mobil pustaka, membawa buku-buku ke desa-desa terpencil.
Street Library Jogja yang menghadirkannya di ruang publik seperti taman dan trotoar, menghapus batas eksklusivitas buku.
Gerakan seperti ini menjadikan literasi sebagai alat pemberdayaan masyarakat. Mereka bukan sekadar membaca untuk diri sendiri, tapi menciptakan ekosistem belajar yang kolektif.
Anak Muda: Agen Baru di Dunia Digital
Dulu identik dengan perpustakaan dan buku tebal. Kini, literasi menemukan ruang barunya di layar smartphone. Platform seperti Wattpad, Medium, hingga Storial menjadi tempat anak-anak muda menuangkan ide dan menjangkau ribuan pembaca. Di TikTok, muncul fenomena #BookTok yang menjadikan ulasan buku sebagai konten populer dengan jutaan penonton.
Bahkan, dalam riset We Are Social tahun 2024, Indonesia mencatatkan waktu membaca digital rata-rata 3 jam per hari—angka ini termasuk membaca artikel berita, opini, dan konten edukatif di media sosial. Ini menunjukkan bahwa literasi hidup, hanya saja medianya berganti.
Namun tantangannya adalah bagaimana mengubah scrolling pasif menjadi kegiatan aktif. Di sinilah pentingnya edukasi digital yang kritis dan kreatif.
Literasi Sebagai Instrumen Bertahan di Era Overload Informasi
Informasi hari ini tidak hanya melimpah, tapi juga membanjiri. Kita menghadapi tsunami informasi setiap hari, dari notifikasi, berita, hingga opini publik yang bercampur antara fakta dan manipulasi.
Kemampuan digital—memilah informasi, mengecek sumber, menghindari confirmation bias—telah menjadi keterampilan hidup. Contoh konkritnya terlihat dalam berbagai kasus hoaks kesehatan selama pandemi COVID-19. Banyak masyarakat yang terpapar hoaks karena minim literasi, dan dampaknya sangat nyata: pengambilan keputusan yang salah, ketakutan massal, bahkan korban jiwa.
Menurut laporan Kemenkominfo 2023, hanya 38% masyarakat Indonesia yang memiliki kemampuan literasi digital yang memadai. Ini menandakan bukan sekadar idealisme, tetapi urgensi nasional.
Daya Saing Masa Depan Ditentukan oleh Literasi Hari Ini
Negara-negara dengan tingkat literasi tinggi terbukti memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) yang lebih baik. Laporan World Literacy Foundation menunjukkan bahwa peningkatannya berdampak langsung pada produktivitas ekonomi, kesehatan masyarakat, dan stabilitas sosial.
Indonesia sendiri berada di peringkat ke-62 dari 70 negara dalam Most Literate Nation in the World versi John W. Miller. Meski telah banyak kemajuan, angka ini menunjukkan masih panjangnya jalan yang harus ditempuh.
Maka, literasi juga ikut berkontribusi membangun fondasi peradaban. Dari ruang baca pribadi hingga forum publik, serta menciptakan masyarakat yang lebih reflektif, solutif, dan beradab.
Kesimpulan: Pilihan Hidup yang Berarti
Di era ketika kecepatan informasi bisa menenggelamkan makna, literasi hadir sebagai jangkar. Ia bukan sekadar hobi eksklusif bagi kutu buku, tetapi napas panjang yang menuntun kita berpikir, merasa, dan bertindak dengan kesadaran.
Menjadikannya sebagai gaya hidup berarti memilih untuk tidak pasif terhadap arus zaman. Ini adalah bentuk resistensi terhadap kebodohan massal, sekaligus upaya aktif membangun diri, komunitas, dan bangsa.
Karena pada akhirnya, masyarakat literat bukan hanya membaca buku—mereka membaca zaman.