Gaya Kepemimpinan Otokratis ala Ahok

ahok langit

MYAHOK.COM-Retorika dan pemimpin adalah dua hal yang saling berkaitan. Retorika yang dilakukan adalah ketika pemimpin menyampaikan orasi dan kebijakannya di depan masyarakat baik secara bahasa verbal dan nonverbal. Retorika dan persuasi bekerja bersama-sama. Retorika adalah seni membujuk orang lain; Oleh karena itu, persuasi tidak terlepas dari retorika.

Terdapat pula cara mengidentifikasi retorika beserta efeknya kepada penerima retorika. Pertama, meneliti  bahwa sikap sering berubah sesuai dengan dasar sebuah pesan. Kedua, penempatan sebuah sikap atau opini dengan lainnya adalah salah satu macam dari perubahan sikap.Ketiga, fokus pada pesan-audiens, hubungan-mencari efek dari pesan audiens- hanya satu dimensi dari transaksi retorika, dan tidak selalu banyak membantu dan informatif yang berbeda-beda dalam menjalankan tugasnya.

Berdasarkan gaya kepemimpinan tersebut, Ahok dapat dikategorikan dalam gaya kepemimpinan otokratis. Pembawaan Ahok yang tegas dan keras membuat Ahok disegani oleh masyarakat. Hal tersebut juga berlaku ketika Ahok menyampaikan retorikanya di depan media atau publik.

Gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja (Ahok), saat ini menjadi sorotan publik. Berbagai macam media pun, seringkali terkena “semprot” oleh pernyataan Ahok. Tidak hanya media, masyarakat yang menurutnya keliru dalam bertindak juga sering terkena imbas kemarahannya langsung. Salah satu bentuk kemarahannya adalah ketika Ahok marah pada pejabat Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) DKI Jakarta yang tidak bisa menjelaskan programnya dengan rinci.

Retorika yang dilakukan Ahok, bisa jadi akan mengubah sikap masyarakatnya, dari simpatik menjadi tidak atau sebaliknya. Bukan hanya faktor retorika yang mengubah sikap audiens tetapi juga cerminan dari diri pemimpin tersebut. Retorika adalah salah satu keyakinan bahwa pemimpin memiliki suatu gaya khas yang membuat ia berbeda dari yang lain.

Efek dari beretorika dalah bahwa pesan yang disampaikan seorang yang menggunakan retorika bisa berefek pada masyarakat. Misalnya saja Ahok menyampaikan kebjiakannya kepada masyarakat dengan gaya retorika khasnya yang keras. Hal ini mengubah sikap masyarakat semakin baik atau malah bertambah buruk. Persepsi setiap orang berbeda, bergantung bagaimana ia menanggapinya.

Retorika Ahok dalam Penegakan Kebijakan

Setiap pemimpin mempunyai gaya kepemimpinan dan retorikanya masing-masing. Begitu pula dengan Ahok, retorikanya yang selalu tepat sasaran dan tanpa basa-basi mampu mempengaruhi masyarakat untuk mempercayai setiap kata-katanya. Retorika Ahok menunjukkan bagaimana gaya kepemimpinan dirinya. Dengan retorika yang menekankan pada fakta yang ada, tegas, dan tepat sasaran  menunjukkan bahwa Ahok adalah pemimpin yang otokratis, dimana pemimpin otokratis adalah pemimpin yang berusaha mewujudkan tujuannya dengan berbagai cara. Pemimpin ini cenderung tegas, keras, dan obsesif dalam mencapai tujuannya. Namun, tujuan tersebut berusaha dicapai dengan perhitungan dan perencanaan yang sistematis.

Salah satu contoh yang menunjukkan hal di atas adalah kejadian saat Ahok marah karena temukan kartu virtual account untuk para penghuni Rusunawa Marunda yang tidak dilengkapi nama dan foto pengguna.

Ahok kecewa karena kartu virtual account itu hanya mencantumkan nomor unit rusun para penghuni. Tidak ada identitas beserta foto penghuni. Basuki mempermasalahkan hal ini karena rancangan kartu dibuat seadanya. Pemprov DKI menjadi tidak bisa mengontrol penghuni dan status kepemilikan rusunnya. Menurut Ahok, pencantuman nama dan foto penting untuk mencegah mafia menjualbelikan rusun.

Kejadian ini bisa menggambarkan bagaimana Ahok mempunyai ketegasan dan perencanaan yang jelas dari setiap system atau program yang dibuat. Hal ini juga menunjukkan bahwa Ahok termasuk dalam salah satu karakter pemimpin public yang baik. Salah satu karakter yang harus dimiliki pemimpin publik yang dapat membina masyarakat menghadapi tantangan masa depan adalah The  meaning  of  direction  (memberikan  visi,  arah,  dan  tujuan).

Seorang pemimpin yang efektif membawa kedalaman (passion), perspektif, dan arti  dalam  proses  menentukan  maksud  dan  tujuan  dari  kepemimpinannya. Setiap  pemimpin  yang  efektif  adalah  menghayati  apa  yang  dilakukannya. Waktu  dan  upaya  yang  dicurahkan  untuk  bekerja  menuntut  komitmen  dan penghayatan.

Kejadian lain yang juga bisa menggambarkan ketegasan, dan komitmen Ahok pada pemberantasan korupsi dan pungutan liar adalah ketika KPK menunjukkan praktik pungutan liar di Balai Uji Kir Jl Kedaung, Jakarta Barat. Mengetahui praktik tersebut Ahok langsung menutup tempat tersebut.

Nilai positif yang dapat kita ambil dari tipe kepemimpinan Ahok adalah, dengan ketegasannya ia mampu mencapai suatu tujuan. Tujuan ini dicapai dengan perencanaan yang matang dan perhitungan yang cermat. Tipe kepemimpinan Ahok ini mulai langka di era abad demokratis ini, namun tidak berarti ia sama sekali tidak mendengarkan masukan pihak lain dan mengacuhkannya. Keterbukaan terhadap saran dan kritik sangat dibutuhkan pada abad ke 21 ini, namun penyampaian dan retorika Ahok yang menunjukkan bahwa ia orang yang tegas, tidak menerima kesalahan fatal dan mengharapkan yang terbaik dari orang-orang yang bekerja di sekitarnya.

Retorika Ahok sepertinya memang mudah membuat orang meradang, namun retorika tersebut yang membuta orang menilai bahwa Ahok merupakan individu yang tanpa takut merubah apa yang selama ini salah. Ia dari seseorang yang berasal dari kelompok minoritas yang dengan tegas dan terlihat dari segala perbuatan dan perilakunya, menantang siapa saja yang tidak ingin dirubah menjadi lebih baik. Tampaknya Ahok berpegang pada sebuah pakem yang dalam manajemen di sebut confront the brutal fact. Menghadapi fakta yang brutal alias menghadapi kenyataan sebenarnya, dan tidak lari menghindarinya dengan segala dalih.

Confront the brutal fact berarti menerima semua realitas saat ini yang terjadi dan melihatnya dengan objektif. Melihat hal secara objektif dan melihat realitas dengan apa adanya tidak berarti kita tidak memiliki visi yang baik.

Kenapa Ahok termasuk orang yang confronting brutal facts? Karena bisa dibilang selama ini warga Jakarta sudah menerima keruwetan dan segala macam komplikasi kenegatifan Jakarta dengan pasrah. Mereka mungkin berfikir itulah yang memang terjadi dan akan seterusnya seperti itu, namun Ahok hadir disana dan mulai memvisualisasikan keadaan Jakarta yang sebenarnya kepada masyarakat dan menunjukkan bahwa keruwetan dan segala komplikasi tersebut dapat diatasi. Tentunya ia memvisualisasikannya melalui retorika yang tegas. Contohnya adalah kebijakan yang ialakukan mengenai pengaturan Tanah abang yang ruwet.

Perda tentang ketertiban umum sudah ada sejak lama, tapi nampaknya Perda tentang ketertiban umum juga telah lama diinjak-injak dan tidak digubris oleh para Pedagang Kaki Lima dan preman yang mem-backing mereka. Para pembuat Perda sebelumnya mungkin juga sudah melakukan banyak hal untuk menegakan peraturan tersebut. Hanya saja ketika kemudian persoalan menertibkan pedagang kaki lima ini juga harus berhadapan dengan dunia gelap premanisme, mereka tidak punya nyali. Terlebih ketika di balik premanisme Tanah abang itu ternyata ada “oknum-oknum hantu” yang tidak dapat tersentuh dan secara kasat mata kebal hukum, dimana pengaruh mereka mencengkeram kekuasaan tertinggi di negeri ini. Semakin ciut lah nyali para aparat itu untuk menegakan ketertiban umum. Daripada mereka kehilangan nafkahnya, lebih baik mereka tutup mata dan telinga soal Tanah abang.

Berpuluh tahun situasi pembiaran itu terjadi. Dan orang Jakarta nyaris percaya bahwa di Tanah abang kesemrawutan itu memang sebuah keniscayaan yang harus diterima secara legowo dan pasrah. Warga Jakarta tidak mampu melakukan apa-apa dengan keadaan Tanah abang yang seperti itu. Mereka memaksa akal sehatnya untuk mempercayai kebenaran tersebut bertahun-tahun lamanya sehingga sampai di keadaan dimana mereka tidak mempertanyakan hal itu lagi.

Keadaan tersebut terus berlanjut sampai Ahok menunjukan kepada kita bagaimana seharusnya merawat akal sehat. Dia menggebrak kemapanan Tanah abang, kemapanan para pedagang kaki lima, kemapanan preman yang mem-backing PKL tersebut, kemapanan para “oknum-oknum hantu” yang bermain di Tanah abang. Dan yang terpenting mengkonfrontasi fakta brutal yang sudah diterima oleh masyarakat Jakarta sekian lama tersebut. Dengan retorika nya yang keras, tegas namun memiliki tujuan, Ahok akhirnya dapat menunjukkan bahwa dengan ketegasan dan kekerasan niat yang selama ini ditunjukkan dengan retorikanya dapat memuluskan kebijakan yang selama ini susah dan rumit untuk dilakukan.

***

Dikutip dari Makalah Akademis yang disusun oleh :
Wijayanti, Ayu, Nada, Athfina, Alvian
Universitas Brawijaya Malang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 Komentar

  1. Syukurlah bahwa ilmu manajemen mengenal istilah Confront the brutal fact, karena sesungguhnya jika sebuah peraturan yang dibuat bersama untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik, lalu diinjak-injak oleh oknum lembaga pembuat kebijakan itu sendiri atau institusi yang harusnya melaksanakannya maka itu adalah sebuah fakta kebrutalan. Oleh karena itu karena sangat dibutuhkan pemimpin yang berkarakter seperti AHOK. Fearless to confront the brutal fact.