Membicarakan Jakarta selalu dikaitkan dua hal, macet dan banjir. Dua permasalahan utama ini jugalah yang selalu menjadi topik utama saat memasuki masa pilkada. Dengan posisi saya saat ini, pertanyaannya adalah apa yang telah kami perbuat selama memimpin Jakarta terkait permasalahan banjir?
Normalisasi terhadap seluruh sungai dan waduk adalah hal wajib, prinsipnya begini, jika hujan turun terus menerus air di sungai maupun waduk dapat meluap karena ada titik maksimal menampung air, terlebih kurangnya daya tampung juga dikarenakan banyaknya bangunan yang berdiri di atasnya atau di pinggirannya.
Karenanya dibutuhkan wadah atau tampungan air yang lebih besar, termasuk memperdalam dan melebarkan sungai dan waduk. Jadi kalau kita bicara soal normalisasi mau tidak mau berhubungan dengan penertiban bangunan liar dan ada relokasi warga.
Kebijakan penertiban inilah yang selalu dikaitkan dengan cara kepemimpinan saya yang disebut tidak manusiawi, justru kalau saya membiarkan warga saya terendam banjir di setiap musim hujan lah yang tidak manusiawi. Toh, saya menggusur tidak asal gusur, warga di sekitar area normalisasi saya relokasi ke rusun-rusun sewa milik Pemprov DKI Jakarta, mulai dari Rusunawa Marunda hingga Rusun Pulo Gebang di Jakarta Timur.
Kita kembali soal mengatasi banjir, apakah saya serta merta main gusur saja? Tanpa sosialisasi? Sosialisasi soal normalisasi sungai dan waduk kepada warga ini membutuhkan waktu cukup lama, saya membutuhkan setidaknya tiga tahun agar sebagian besar warga mengerti dan memahami soal program pengentasan masalah banjir ini.
Terkait lahan warga yang terkena proyek normalisasi, saya telah ingatkan jika pemilik lahan yakin tanahnya bukan tanah negara, ya mereka harus segera mengurus sertifikat lahan atau rumahnya. Dengan memiliki sertifikat, maka warga tersebut berhak menerima ganti rugi.
Saya bahkan membuat kebijakan yang memudahkan warga mengurus sertifikat, dengan menggratiskan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Saya bisa memberikan contoh soal ganti rugi di wilayah yang terkena program normalisasi sungai dan waduk ini, yakni di wilayah Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur. Sebelum kami merelokasi warga di sekitar aliran Sungai Ciliwung, kami harus menggusur terlebih dahulu 13 ruko di pinggiran Ciliwung, agar alat berat kami bisa masuk ke lokasi.
Saat itu saya heran, ke-13 ruko yang posisinya di pinggiran sungai kok bisa punya sertifikat dan IMB? Singkat cerita, setelah kami lakukan pendekatan, ke-13 pemilik ruko itu mau berkorban. Mereka sadar dan bisa mengerti kalau pembongkaran mereka ini adalah demi kepentingan orang banyak. Karena memiliki sertifikat yang sah, para pemilik ruko tersebut ya tetap berhak mendapatkan biaya ganti rugi, sesuai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Ini juga yang saya sampaikan ke warga Bukit Duri yang terkena normalisasi. Dari 400-an bidang tanah, hanya 13 bidang yang dilengkapi surat kepemilikan lahan atau sertifikat. Jika memang suratnya sah, ya kami pasti akan berikan ganti rugi.
Kenapa kami tidak mencoba menggunakan cara lain? Saat Pilkada 2017 lalu, saya dikritik soal kebijakan normalisasi sungai. Salah satu calon gubernur saat itu bicara soal drainase vertikal. Pertanyaannya, apakah yang disampaikan tersebut merupakan sebuah inovasi baru? Yang dimaksud drainase vertikal itu adalah biopori dan sumur resapan.
Kami pernah mencoba membangun titik-titik biopori di Jakarta. Tahun 2014 kami membangun 272 unit sumur resapan, serta 667.573 unit lubang biopori. Tahun 2015 kami kembali membuat 1.243 titik sumur resapan, dan tahun 2016 dibangun lagi 225 titik sumur resapan. Hasilnya? Ternyata tidak cocok untuk Jakarta, karena tidak semua wilayah di Jakarta bisa dijadikan lokasi untuk menjadi jalur rembesan limpasan permukaan.
Tekstur lapisan tanah di Jakarta tidak semuanya mampu menyerap air dengan debit yang besar. Biopori lebih tepat digunakan pada model tanah yang memiliki tekstur reservoir atau ground water reservoir (waduk air tanah). Jika tanah di Jakarta ini memiliki banyak bahan endapan vulkanik, baru cocok dengan metode biopori, karena dalam pembuatan vertical drainase itu, kita mesti mengetahui lokasi dan pada kedalaman berapa terdapat tanah yang mengandung endapan vulkanik. Prinsip tersebut ada dalam data geologi.
Mau tidak mau, ya kembali lagi bahwa normalisasi adalah satu-satunya cara yang tidak bisa dihindari untuk mengantisipasi banjir, yakni dengan mengembalikan kedalaman dan lebar sungai serta waduk sehingga bisa menampung air secara optimal.
Ada 13 sungai yang melewati wilayah DKI Jakarta, yaitu Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, Sunter Cakung, Cipinang, Jati Kramat, Buaran, Mookervart, Grogol Kali Baru, Kali Baru Timur, dan Krukut.
Normalisasi sungai yang kami lakukan adalah kerja sama Pemprov DKI Jakarta dengan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, dan bekerja sama juga dengan instansi lain seperti dengan Komando Daerah Militer Jaya, terkait kerja sama pemanfaatan lahan milik TNI AD.
Selain Ciliwung, program normalisasi sudah kami lakukan di Sungai Pesanggrahan, Angke, Sunter, dan sungai Krukut. Pembebasan lahan menjadi persoalan utama belum maksimalnya upaya normalisasi seluruh sungai-sungai yang melintasi wilayah Jakarta.
Sedangkan untuk waduk, di Jakarta terdapat 76 buah waduk dengan luas total mencapai 502 hektar, dengan perincian di Jakarta Utara 225 hektar, Jakarta Timur 163 hektar, Jakarta Selatan ada 88 hektar, Jakarta Barat 15.5 hektar, dan Jakarta Pusat seluas 10,5 hektar.
Kondisi waduk-waduk tersebut berbeda-beda. Banyak yang masih berfungsi baik sebagai wadah penampung air, namun ada waduk yang dangkal dan banyak juga waduk yang dipenuhi tumbuhan eceng gondok, endapan, dan bangunan liar. Atas dasar kondisi ini, kita menentukan waduk mana yang menjadi prioritas untuk kami lakukan normalisasi.
“Normalisasi sungai adalah satu-satunya cara yang tidak bisa dihindari untuk mengantisipasi banjir”, Basuki Tjahaja Purnama – Gubernur DKI Jakarta
Di awal kepemimpinan kami, selain Waduk Pluit dan Waduk Ria-Rio, beberapa waduk lain yang masuk prioritas untuk segera dinormalisasi adalah Waduk Bojong, Waduk Sunter, Waduk Teluk Gong, Waduk Situ Lembang, Waduk Melati, Waduk Rawa Babon, Waduk Cengkareng, Waduk Grogol, Waduk Pegangsaan II, Waduk Bujana Tirta, dan Waduk Tomang Barat.
Apakah normalisasi sungai dan waduk tadi berhasil mengatasi banjir? Kita ambil contoh normalisasi yang kami lakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Hingga Februari 2017, baru sekitar 40 persen wilayah sepanjang aliran Ciliwung yang masuk wilayah DKI Jakarta, yang kami normalisasi. Mengapa normalisasi baru berjalan 40 persen? Karena kami menghadapi masalah pembebasan lahan.
Walaupun baru 40 persen, namun sangat berdampak terhadap banjir yang biasa melanda Jakarta. Sebelum proyek normalisasi Ciliwung dimulai, banjir di sana bisa setinggi atap rumah. Setelah normalisasi berjalan, walaupun masih ada banjir di beberapa titik sepanjang Ciliwung, namun tidak sampai setinggi lutut orang dewasa. Titik banjir dalam empat tahun terakhir berkurang secara signifikan.
Perubahan paling terasa terjadi di kawasan Kampung Pulo, dari kawasan yang sebelumnya selalu banjir menjadi kawasan bebas banjir.
Dulu, lebar Sungai Ciliwung hanya sekitar 10 meter dan dangkal. Setelah normalisasi dimulai, lebar sungai menjadi 20 hingga 30 meter, walapun seharusnya lebar Sungai Ciliwung adalah 40-50 meter untuk mengurangi volume banjir. Jika program normalisasi tuntas, Sungai Ciliwung bisa menampung air dengan kapasitas 500 hingga 600 meter kubik.
Hasil nyata program normalisasi bisa dilihat juga di Waduk Pluit. Sebelumnya, waduk itu dangkal dan penuh permukiman kumuh, namun setelah dilakukan normalisasi dengan mengeruk dan menata kembali, kini volume tampungan banjir di sana meningkat dan mengurangi banjir di kawasan Pluit.
Contoh lain adalah normalisasi sungai di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Sungai yang sebelumnya kotor dan berwarna hitam, kini berubah menjadi lebih jernih dan bersih.
Secara keseluruhan sebelum program normalisasi berjalan, ada kurang lebih 2.200 titik banjir. Dan setelah upaya normalisasi dilakukan, tahun 2016 berkurang menjadi 400 titik banjir dan di bulan Februari 2017 tinggal 80 titik. Jika melihat dari sisi jumlah kelurahan yang terkena banjir, perbandingannya adalah di tahun 2013, jumlah kelurahan yang terkena banjir adalah 139 kelurahan, sedangkan di tahun 2016 berjumlah 108 kelurahan.
Selain normalisasi sungai dan waduk, upaya lain guna mengantisipasi banjir adalah pembangunan sodetan (terowongan) yang menghubungkan Kali Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT). Nantinya proyek sodetan yang mulai dikerjakan Februari 2015 itu bisa mengurangi beban debit air di Sungai Ciliwung.
Antisipasi jangka panjang penanggulangan banjir adalah pengembangan penampung air seperti situ, waduk dan embung. Upaya pengembangan ini kami lakukan hingga wilayah di luar Jakarta, seperti pembebasan lahan untuk waduk di Cimanggis Depok seluas 24.364 m2.
Pembangunan waduk bekerja sama dengan daerah penyangga seperti di Cimanggis Depok itu penting. Untuk menyelamatkan ibu kota dari banjir tidak bisa dilakukan sendiri. Kami perlu koordinasi dengan pemerintah daerah lain, terutama daerah penyangga seperti Depok dan wilayah Jawa Barat lain yang berbatasan dengan Jakarta.
Dengan adanya waduk seperti di Depok ini, gunanya tidak hanya untuk menampung air saat musim hujan agar tidak banjir, melainkan juga menjadi sumber air ketika musim kemarau bagi warga Depok dan Jakarta. Sedangkan di dalam wilayah Jakarta, kami melakukan pembebasan tanah untuk pengembangan embung di lima wilayah Jakarta.
Adapun upaya antisipasi banjir rob di pantai utara Jakarta selain menggunakan normalisasi juga kami bangun tanggul laut National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) Masterplan A.
Letak geografis Jakarta berada di bawah permukaan laut, sehingga diperlukan tanggul sebagai penahan air laut agar tidak masuk ke daratan. Setidaknya ada 40 persen wilayah Jakarta yang ketinggiannya berada di bawah permukaan laut. Yang terparah ada di kawasan Muara Baru dan Cilincing, yang mencapai 4,1 meter di bawah ketinggian permukaan laut. Hingga pada akhir pemerintahan saya, tanggul utara telah dibangun sepanjang 3.683 meter. Tanggul yang telah dibangun itu tidak hanya berfungsi untuk menahan rob saja, melainkan juga bermanfaat bagi warga sekitar karena kami bangun ruang terbuka publik sepanjang 100 meter dengan total luas 3.000 meter persegi.
Upaya lain untuk mencegah banjir selain membangun sheetpile sepanjang 35.444 m dan normalisasi sungai sepanjang 30.679 m, juga memaksimalkan kinerja 20 ribu Pasukan Biru di bawah koordinasi Dinas Sumber Daya Air dan 15 ribu Pasukan Oranye.
Sumber : Buku ‘Kebijakan AHOK’ – Halaman 231-239